PP Lahan Gambut Kental Kepentingan Asing

udin abay | Rabu, 14 Desember 2016 , 11:33:00 WIB

Swadayaonline.com - Pemanfaatan lahan gambut, termasuk dalam konteks pengembangannya baik sebagai kawasan budidaya maupun kawasan lindung atau restorasi dihadapkan pada berbagai permasalahan yaitu tentang reklamasi dan pengelolaan air, kebakaran dan degradasi lahan, perubahan iklim dan pemanasan global, kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat, pembalakan liar, dan perdagangan karbon. Hal dibahas pada acara Workshop “Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut” di Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Bogor. (13/12/2016)

Lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 tahun 2016 junto PP  71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut dinilai sarat campur tangan pihak asing. Atas hal itu,para pemangku kepentingan meminta pemerintah merevisi aturan tersebut karena tidak didasarkan kajian akademis yang komprehensif dan mengabaikan nilai ekonomis dan sosial.

Ketua Himpunan Gambut Indonesia (HGI), Supiandi Subihan mengatakan terbitnya PP Nomor 57 tahun 2016 diduga kuat bertujuan menjatuhkan bisnis kelapa sawit di Indonesia yang berpotensi mengancam kelangsungan hutan tanaman industri atau HTI dan perkebunan kelapa sawit. PP tersebut merupakan produk hukum turunan dari UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No 32/2009 yang berpotensi mengancam dua bisnis nonmigas utama penghasil devisa bagi Indonesia dari ekspor tanaman akasia dan kelapa sawit.

Sebenarnya, Indonesia sudah mampu menerapkan teknologi pertanian dalam hal pemanfaatan gambut. Salah satu caranya dengan penggunaan pupuk yang memadai dan pengaturan tata air. Lahan marginal yang miskin unsur hara ini dapat dikembangkan baik sebagai budidaya tanaman hutan industri,perkebunan hinggga sawit. Namun pelarangan lahan gambut untuk ditanami sawit sangat dimungkinkan bahwa tanaman ini menjadi ancaman bisnis pangan dunia.

“Dia mengingatkan regulasi tersebut kontraproduktif, setelah menetapkan kawasan lindung seluas 30% dari seluruh kesatuan hidrologi gambut dan masalah fungsi lindung apabila ketebalan mencapai tiga meter. Regulasi tersebut juga tendensius karena menetapkan bahwa muka air gambut minimal 40 sentimeter, dan apabila lebih dari batas minimal tersebut maka kawasan lahan gambut akan dinyatakan rusak sehingga tidak boleh dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya," kata Supiandi.

Sebagaimana diketahui, luas lahan gambut di Indonesia mencapai 14,9 juta hektar dan luas yang ditanami kelapa sawit hampir satu juta hektar dan HTI lebih dari dua juta hektar, dan menurut Supiandi, apabila PP tersebut diterapkan maka HTI tinggal cerita dan hampir 50% luas lahan kelapa sawit harus dikembalikan untuk kepentingan konservasi. Namun hal itu tidaklah mudah dan berisiko terjadinya revolusi sosial, karena HTI dan kelapa sawit menghidupi jutaan orang yang mencari nafkah sebagai petani dan buruh.

Ketua Bidang Kajian Kebijakan Pertanian Agronomi Baran Wirawan menambahkan, sawit sudah berkontribusi terhadap pemasukan devisa hingga Rp 200 triliun. Hasil ekspor dari komoditas perkebunan ini telah menjadi penyeimbang terhadap surplus neraca perdagangan pangan, di luar migas.

Baran berharap pemerintah segera merevisi PP 57 tahun 2016 sehingga tidak menimbulkan kontraproduktif dengan kepentingan perekonomian dan sosial masyarakat. Suatu deregulasi itu harusnya mendorong masuknya investasi sekaligus kedaulatan pangan. Sementara Sekjen HITI, Husnain mendesak Pemerintah RI untuk melakukan pembahasan berdasarkan pendekatan ilmu pengetahuan terhadap naskah akademik dan bukan hanya berkutat pada kepentingan lingkungan hidup. SY