Percepatan dan Kredibilitas ISPO, Solusi Jitu Melawan Issue Negatif

udin abay | Rabu, 19 September 2018 , 17:40:00 WIB

Komoditas kelapa sawit terus menjadi sasaran dalam perang dagang dengan negara-negara pasar, khususnya Uni Eropa dengan tuduhan merusak lingkungan, memicu emisi gas rumah kaca, deforestasi, pekerja anak dan lain-lain. Komoditas unggulan Indonesia bakal dilarang masuk, terutama biodisel berbahan baku minyak kelapa sawit.

Jika kebijakan pelarangan produk turunan kelapa sawit itu dilaksanakan tentu akan menimbulkan dampak yang luas terhadap penerimaan devisa dan pajak, pertumbuhan ekonomi, berkurangnya lapangan kerja, serta kesejahteraan jutaan pekebun.

Indonesia harus mengambil sikap bijak, namun tegas dan terus-menerus memperbaiki tatakelola kelapa sawit untuk merespon tuduhan-tuduhannegatif terhadap komoditas kelapa sawit yang tidak sepenuhnya sesuai dengan fakta, untuk menyusun suatu Strategi Komunikasi dan Diplomasi. Indonesia tidak perlu larut dalam genderang permainan yang dimainkan Uni Eropa, namun perlu direspon secara efektif untuk menyadarkan Uni Eropa.

Sebaik apa pun upaya yang telah kita
lakukan, Uni Eropa tak kan pernah berhenti menyerang kelapa sawit. Karena kelapa sawit adalah komoditas yang paling strategis dan efisien untuk menghasilkan pangan dan energi.

Sebagai bangsa yang besar, kita harus selalu mengambil hikmah dari serangan terhadap kelapa sawit, inilah momentum yang tepat agar semua stakeholders kelapa sawit lebih solid, sinergi, dan kompak untuk menghadapi kampanye hitam tersebut.

Hikmah lain, kita juga perlu berbenah diri dengan memperbaiki tata kelola baik industri besar, perkebunan rakyat, kemitraan/ kerjasama perusahaan dengan pekebun plasma dan swadaya, supaya daya saing industri sawit semakin meningkat dan diterima pasar global.

Saat ini, Pemerintah terus mendorong implementasi tata kelola kelapa sawit yang baik sesuai ketentuan yang berlaku melalui Sistem Sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Kementerian Pertanian telah berkomitmen melalui Kebijakan Percepatan Sertifikasi ISPO dengan menargetkan seluruh perkebunan kelapa sawit,

Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang menyatakan pemerintah terus mendorong implementasi tata kelola kelapa sawit yang baik. Pihaknya menargetkan seluruh perkebunan kelapa sawit,  bisa mendapatkan sertifikat ISPO.

Menurut catatannya, sekitar 14 juta hektare perkebunan sawit yang tersebar di seluruh Indonesia, baru sekitar 20% yang sudah disertifikasi ISPO. Termasuk enam koperasi perkebunan rakyat (3 Koperasi Unit Desa Plasma dan 3 Koperasi/Asosiasi Pekebun Swadaya).

Rendahnya kesadaran sertifikasi lahan, menurutnya antara lain disebabkan karena aspek legalitas masih sangat rendah dan terkait masalah pendanaan. Namun demikian, menurutnya masalah pendanaan akan difasilitasi. Rencananya, proses itu bakal dibiayai oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit. "Kami berupaya untuk meyakinkan semua pihak agar biaya prakondisi dan audit ISPO dapat difasilitasi," kata Bambang pada acara penyerahan sertifikat ISPO dan dialog interaktif ISPO di Jakarta.

Tidak kurang dari 235,867 hektar lahan sawit di Indonesia telah disertifikasi oleh Komisi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) hingga Agustus 2018. Rincian penerimanya terdiri dari  67 pelaku usaha dan 2 koperasi petani swadaya.

Menurut Kepala Sekretariat Komisi ISPO, Aziz Hidayat,  pihaknya   melakukan percepatan sertifikasi ISPO untuk meningkatkan pemahaman dan kepedulian perusahaan perkebunan untuk industri kelapa sawit berkelanjutan. "ISPO adalah komitmen nasional untuk perkebunan kelapa sawit dengan tata kelola baik, ramah lingkungan, dan sesuai peraturan," kata Aziz.

Adapun sejak 2011, Komisi ISPO telah memberikan sertifikat kepada 413 pelaku usaha dengan luas lahan perkebunan sawit sebesar 2,439 juta hektare.

Dia menyebut sertifikasi ISPO  diberikan berdasarkan keputusan tim penilai. Seperti, pada rapat komisi tanggal 26 Juli 2018, dimana terdapat pengajuan sertifikasi untuk sebanyak 100 unit usaha, namun hanya 67 unit usaha yang lulus mendapatkan sertifikat ISPO. Sebanyak 33 unit usaha ditunda karena masih belum menjalankan prinsip dan kriteria ISPO seperti belum terbitnya Hak Guna Usaha (HGU) serta isu lingkungan lainnya. "Masalah utama yang paling sering terjadi adalah legalitas lahan," ujarnya.

Dari 413 sertifikat yang diterbitkan ISPO tidak bertentangan dengan pengaduan yang terkait isu keberlanjutan. Alasannya, aduan tentang sengketa lahan, permasalahan tenaga kerja, terancam punahnya orang utan, dan dugaan kawasan hutan bukan dilakukan oleh penerima ISPO. SY