Bertani Cerdas dan Bijak di Lahan Rawa

udin abay | Kamis, 25 Oktober 2018 , 21:44:00 WIB

Swadayaonline.com - Pro dan kontra terhadap pembukaan dan pemanfaatan lahan rawa sudah sejak lama muncul. Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) yang dilakukan pemerintah pada era tahun 1969-1970an, menurut Prof. Tejoyuwono (alm) awalnya mendapatkan kecaman dan tantangan dari para pakar pertanian bangsa Eropa, khususnya Belanda, padahal pemerintah Belanda sendiri sejak tahun 1920an telah membuka lahan rawa sebagai daerah koloninya di Delta Pulau Petak, diantara Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.

Pemerintah waktu itu berpendapat melalui keberhasilan masyarakat Banjar dan Bugis yang sejak puluhan bahkan ratusan tahun telah berhasil memanfaatkan lahan rawa dari semula rawa monoton yang teregang sepanjang tahun hingga menjadi lahan yang produktif dengan padi sebagai komoditas utamanya memberikan inspirasi kuat bagi pemerintah untuk berhasil. Sampai pada tahun 1985  pemerintah berhasil membuka sekitar 2 juta hektar lahan rawa di Kalimantan, Sumatera dan sebagian di Papua dan Sulawesi dengan menempatkan transmigran dari Pulau Jawa dan Bali sebanyak 2 juta Kepala Keluarga.

Memang dengan berbekal ilmu pengetahuan yang masih terbatas tentang rawa istilahnya menurut Dr. Ir. Mukhlis, MS, peneliti Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa pemerintah melakukan learning by doing atau learing by teaching.  William Collier, yang juga telah meneliti lahan rawa sejak 1970-1980 menyatakan dan menilai bahwa usaha pemerintah dalam pembukaan lahan rawa tersebut dinilai berhasil karena menciptakan sentra-sentra produksi, khususnya padi yang menjadi prioritas utama, dimana Indonesia merupakan importir terbesar di dunia.

Upaya pemerintah untuk mengoptimalkan lahan rawa sebagai sumber peningkatan produksi pertanian, khususnya padi, jagung dan kedelai (PAJALE) kembali mendapatkan respons serupa. Boleh jadi lahan rawa memang bukan pilihan terbaik, tetapi kita tentunya tidak ingin melihat masyarakat antri panjang untuk mendapatkan 5-10 kg beras akibat krisis pangan pada tahun 1980an. Kedua kita juga tidak ingin anggaran belanja (investasi) yang mestinya untuk pembangunan beralih untuk impor beras. Masalah lingkungan sebagaimana pernah diungkap pakar lingkungan Prof. Dr. Emil Salim, M.Sc. tidak seharus dipertentangkan dengan masalah untuk kepentingan nasional dan masyarakat umum.

Pengetahuan dan teknologi terus berkembang masalah-masalah dampak lingkungan yang muncul tidak berarti menutup peluang bagi kita untuk berproduksi, tetapi justru menjadi tantangan bagaimana kita bersiap menghadapi dan memecahkannya.

Menurut Prof Dr. Supiandi Sabiham, MSc. kontroversi pemanfaatan lahan rawa, diantaranya lebih spesifik lagi lahan gambut akhir-akhir ini memang sangat kuat didukung oleh ancaman perubahan iklim global yang ditengarai mengakibatkan pemanasan global. Menurut Prof. Supiandi mengutip hasil penelitian Stephens dan Speir (1969) pada lahan gambut di Florida  bahwa lahan gambut apabila didrainase dengan parit yang baik dan benar, dipupuk secara tepat waktu dengan hara makro dan mikro sesuai kebutuhan tanaman, maka lahan gambut dapat menjadi lahan pertanian yang produktif. Memang tidak semua lahan gambut boleh atau bisa digunakan untuk gambut tebal dan gambut yang masih ditumbuhi hutan primer patut dilestarikan.  Adapun lahan rawa yang bukan gambut, tidak ada alasan untuk dilarang pemanfaatannya. Sistem handil yang dikembangkan oleh masyarakat lahan rawa menunjukkan kebolehannya sampai sekarang telah mampu menjadikan lahan rawa sebagai lahan produktif untuk pangan. Ratusan bahkan ribuan mungkin handil yang dibangun oleh masyarakat sepanjang sungai-sungai besar seperti Barito, Mahakam, Kapuas, Kahayan, dan lainnya menjadi saksi kemanfaatan lahan rawa sebagai topangan kehidupan masyarakat setempat.

Potensi lahan rawa kita memang sangat luas sekitar 34,12 juta hektar, namun tidak lebih dari 5 juta hektar yang dimanfaatkan. Padahal terdapat sekitar 10 juta hektar berpotensi untuk pertanian. Kalau yang 10 juta hektar ini dibuka dan dimanfaatkan optimal, maka Indonesia tidak perlu lagi impor pangan, termasuk jagung, kedelai, bawang dan cabai, ungkap Prof. Dedi Nursyamsi (Kepala Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian). Jangan heran semakin terbukanya rawa, maka semakin banyak lahan rawa yang potensial tadinya sebagai lahan pertanian, sekarang berubah menjadi lahan pemukiman. Oleh karenanya konversi lahan di daerah perlu juga mendapatkan perhatian.

Lantas pertanyaannya adalah teknologi pertanian yang bagaimana yang ingin diaplikasikan di lahan rawa? Lahan rawa baik rawa pasang surut maupun lebak memang mempunyai sifat spesifik. Prof. Dr. M. Noor, MS menyebutkan kedua sifat tersebut yaitu senyawa pirit (FeS2) yang harus dibiarkan karena apabila bangun maka akan terjadi musibah besar. Selain itu, juga ada lapisan gambut yang dapat menutupi lebih dari 50 cm sampai bermeter-meter, gambut inipun apabila dibiarkan kering akan menjadi spon dan mudah terbakar.

Oleh karena itu, bertani di lahan rawa perlu dan harus cerdas dan bijak. Cerdas artinya mempunyai cara yang baik dan tepat, sedangkan bijak artinya dapat berkelanjutan dan ramah lingkungan. Insha Allah dengan bertani cerdas dan bijak, maka apa yang dikhawatirkan tentang degradasi lahan dan lingkungan dapat dihindarkan.

Teknologi cerdas dan bijak lingkungan inilah yang sekarang diinisiasikan pada rencana pengembangan atau optimalisasi lahan rawa dari Jejangkit Muara ke 50.000 hektar lahan rawa di Kabupaten Barito Kuala. Menurut Dr. Ir. Agung Hendriadi, M.Sc., Kepala Badan Ketahanan Pangan  dalam kesempatan Pembukaan International Wokrshop of Innovation Technology of Mapping and Management of Tropical Wetlands di Banjamasin pada 18 Oktober yang lalu menyatakan bahwa teknologi pengelolaan lahan rawa sudah tersedia, tinggal kesediaan pemerintah dan dukungan para pemegang kebijakan untuk implentasinya, termasuk anggaran yang kontinyu.

Teknologi cerdas dan bijak ini dirancang dan dirakit dari berbagai komponen teknologi yang sudah siap seperti berbasis pada pengelolaan air sebagai pilar utama, selain untuk kepentingan budidaya pertanian juga sebagai teknologi mitigasi. Kemudian teknologi budidaya tanaman yang dikembangkan didasarkan kekayaan sumber daya genetik unggul, adaptif, rendah emisi, dan memiliki provitas tinggi. Lantar teknologi penataan dan pengelolaan lahan didasarkan pada karakteristik wilayah dan lokasi setempat (specific location), termasuk lingkungan sosial dan adat budaya setempat. SY/HMSL