Indonesia berkontribusi terhadap pengendalian AMR

udin abay | Minggu, 16 Desember 2018 , 11:03:00 WIB

Swadayaonline.com - Antimicrobial Resistance (AMR) pada manusia adalah mikroba yang resisten terhadap antibiotik, dan saat ini telah menjadi permasalahan dan ancaman serius terhadap kesehatan manusia. 

Timbulnya bakteri AMR disebabkan penggunaan antimikrobia yang tidak sesuai aturan pada tingkat budidaya pangan baik pada sektor peternakan, perikanan, dan tanaman, yang menyebabkan munculnya resistensi antimikrobia pada manusia.

Pada tahun 2016 paling tidak ada 700,000 orang meninggal/tahun akibat bakteri AMR, dan dikawatirkan ancaman lebih serius terjadi tahun 2050 yang diprediksi kematiannya mencapai 10 juta/tahun, jika tidak dilakukan pencegahan Food Borne AMR dari sekarang.

Mempertimbangkan seriusnya permasalahan AMR ini World Health Organization (WHO), Food and Agriculture Organization (FAO) dan World Organization for Animal Health (Office  Internazional des Epizooties /OIE) merumuskan pendekatan One Health yang telah diadopsi pada sidang World Health Assembly ke 68.

Pendekatan ini merupakan kolaborasi, multisektoral, dan lintas disiplin ilmu pengetahuan yang bekerja baik di tingkat pusat, regional dan global, untuk mencapai tujuan secara bersama yaitu mewujudkan kesehatan secara optimal.

 "Antimicrobial Resistance (AMR) merupakan permasalahan global yang tidak bisa ditangani oleh satu negara saja, karenanya kerjasama antar negara, baik secara regional dan global harus terus dibangun dalam mengendalikan AMR,” ujar 
Menteri Keamanan Pangan dan Obat, Korea Selatan,  Ryu Young-Jin dalam sambutannya di Sidang 6th mSession of the Ad Hoc Codex Intergovernmental  Task Force on Antimicrobial Resistance (TFAMR)  di Busan, Korea Selatan (10-14 Desember 2018).   

TFAMR merupakan sidang Tim adhoc Codex, yang dibentuk sebagai respon cepat untuk mengantasipasi dampak buruk AMR. Sidang dihadiri Delegasi dari 30 negara anggota, 1 anggota organisasi (Uni Eropa), dan 7 observers serta perwakilan FAO, WHO, dan OIE.  

Sidang ini juga untuk menyempurnakan dua draft dokumen yaitu :Code Of Practice  To Minimize And Contain Foodborne Antimicrobial Resistance dan Draft Guidelines On  Integrated Monitoring And Surveillance Of Foodborne Antimicrobial Resistance.

“Setelah ditetapkan oleh Codex, dokumen ini akan menjadi acuan pengambil kebijakan dalam menangani risiko AMR terhadap kesehatan manusia yang dikaitkan dengan pangan, baik pangan asal peternakan, perikanan dan tumbuhan, serta bagaimana setiap negara dapat melakukan penyiapan system monitoring dan surveilan terhadap AMR ini” Urai Wahyu Purbowasito, Kepala Pusat Sistem Penerapan Standar BSN, selaku Ketua Delegasi RI.

Kementerian Pertanian khususnya Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan telah aktif melakukan langkah koordinasi dan monitoring AMR pada pangan asal hewan. 

"Karena cakupan penanganan AMR ini lintas sektor, Badan Ketahanan Pangan sebagai Mirror Committee Codex akan aktif melakukan langkah koordinatif kepada sektor terkait,"  kata Tri Agustin Satriani, Kepala Pusat Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan, yang juga hadir dalam pertemuan ini. 

Menurut Tri, Setelah pertemuan ini, dokumen Codex akan berada pada tahap 4 dari 8 tahap yang harus dilalui sebelum nanti ditetapkan pada sidang Codex Alimentarius Commission. Sehingga  harus several mengoptimalkan waktu untuk menyiapkan langkah-langkah antisipasi dan tindak lanjut.

Untuk menguatkan koordinasi, lanjut Tri, telah ditetapkan Kelompok Kerja Keamanan dan Mutu Pangan Segar melalui keputusan Menteri Pertanian No 764/Kpts/OT.050/11/2018 tanggal 1 November 2018,  yang mempunyai ruang lingkup penanganan keamanan dan mutu pangan, salah satunya bidang nya adalah penangan Codex.

"Saya yakin penanganan keamanan pangan dan mutu termasuk Codex akan lebih optimal di masa yang akan datang” tambah Tri. SY/HBKP