Raga, Petani Millenial dari Tasikmalaya

udin abay | Rabu, 16 Januari 2019 , 18:10:00 WIB

Swadayaonline.com - Mengapa generasi milenial enggan menjadi seorang petani? Bila ada pertanyaan seperti itu, mungkin jawaban yang akan kita dengar adalah : insentif menjadi seorang petani lebih kecil dibandingkan dengan insentif apabila bekerja di sektor lain, adanya stigma bahwa bekerja menjadi seorang petani tidak bisa menjadi bekal hidup yang layak serta generasi milenial adalah generasi yang lebih menyukai hal-hal yang berhubungan dengan teknologi informasi atau dunia digital bukan dunia pertanian. Namun, alasan tersebut tidak berlaku bagi Raga, pemuda usia 27 tahun yang berasal dari Singaparna,Tasikmalaya.

Lulusan SMK SPP Tasikmalaya ini memiliki kekhawatiran terhadap regenerasi petani yang semakin minim di negeri ini. Hal ini yang mendasari dirinya terjun sebagai pelaku didunia pertanian. Pengalaman ayahnya yang menggeluti sektor perkebunan sebagai mata pencaharian membuat Raga tertarik untuk melanjutkan usaha ayahnya. Akhir tahun 2012, Raga terjun ke dunia pertanian dengan menanam cabe tumpangsari dengan bawang merah. Tidak puas dengan produksi cabe dan bawang merah, alumni IKAMAJA ini melihat peluang pasar atas tingginya permintaan akan labu madu di Jawa Barat.

Merogoh modal secara swadaya sebesar Rp.15 jt ia mendapatkan penghasilan bersi Rp. 10 jt – 15 jt - sekali panen. Saat panen, Raga mampu memproduksi 3,5 ton labu madu dari 1000 pohon dengan harga berkisar Rp. 35 ribu – Rp. 45 ribu/kg. Untuk pangsa pasar, ia tidak khawatir karena beberapa swalayan di wilayah Tasikmalaya dan sekitarnya telah menjamin akan menampung hasilnya produksinya. Memang ia tidak bekerja sendiri, bersama 6 orang pemuda lainnya mencoba untuk mengembangan usaha labu madunya. Untuk mempertahankan kualitas dari labu yang diproduksi, Raga konsisten untuk memperbaiki cara bertani mulai dari proses budidaya hingga pasca panen. Ia pun tidak berhenti untuk belajar dari petani muda lainnya atau dari petani yang lebih senior dari dirinya.

Penyuluh pertanian pun selalu memberikan pengetahuan dan motivasi untuknya. Bukan hanya materi yang Raga dapatkan dari bertani, informasi peluang magang di Jepang dari guru SMK SPP pun ia tidak sia-siakan. Mengikuti proses seleksi dan lolos program magang di Jepang mengantarkan ia ke negeri Sakura selama 11 bulan. Disana ia belajar mengenai cara berbudidaya yang baik, menambah pengetahuan, keterampilan, hingga perbaikan sikap dan mental dalam mengelola usaha pertanian yang berorientasi agribisnis ia dapatkan.

Sebagai generasi millenial, Raga melihat adanya peluang pada perkembangan gaya hidup masyarakat saat ini. Uniknya bentuk butternut pun memancing banyaknya masyarakat yang mengunjungi lahan pertania nya baik untuk sekedar berselfie, wisata petik buah hingga edukasi bagi ibu rumah tangga, anak sekolah dan anak-anak muda. Raga membagikan prinsip hidup yang selalu ia pegang untuk meraih sukses, “ Apapun harus dilakukan dengan kerja keras dan sungguh-sungguh. Kesiapan menghadapi tantangan dan rintangan harus dimiliki oleh setiap orang yang menjalankan usaha.” ujarnya. Diakhir wawancara ia berpesan bagi pemuda, generasi milenial lainnya, “Kalau bukan kita-kita yg muda siapa lagi yang akan mengembangakan potensi wilayah desa kita.

Jangan takut untuk bertani, karena saya yakin dapat bertahan hidup dari bertani. Saya yakin nantinya penghasilan petani akan sama dengan penghasilan menteri, ujarnya sambil tersenyum. SY/NL