Risfaheri: Mengenal Mutu dan Gizi Beras

udin abay | Kamis, 03 Agustus 2017 , 12:59:00 WIB

Swadayaonline.com - Beredarnya beras yang memiliki merek tertentu dengan harga diluar kewajaran di pasaran, bahkan mencapai harga dua kali lipat harga beras normal telah membuat gusar berbagai pihak terutama satgas pangan. Hal ini sangat mencederai keadilan ekonomi dalam sistem usaha hulu-hilir proses produksi beras. Porsi terbesar perputaran ekonomi perberasan berada di sektor hilir (60-80%), jauh lebih besar daripada di sektor hulu (budidaya). Di sisi lain, petani yang bercucuran keringat dan menghadapi banyak resiko karena anomali iklim dan gangguan hama penyakit mendapat porsi yang jauh lebih kecil dibandingkan para pelaku usaha. Jumlah rumah tangga petani yang menggantungkan hidupnya dari usaha tani padi mencapai 14,147 juta, dimana angka ini jauh lebih besar dibandingkan pelaku usaha yang bergerak disektor hilir.

Pemerintah memiliki alasan untuk menertibkan harga beras yang tinggi tersebut, karena setiap tahunnya Pemerintah mengeluarkan anggaran yang cukup besar untuk subsidi pupuk, benih, bantuan alsintan, perbaikan infrastruktur irigasi dan dukungan program lainnya. Semua itu dimaksudkan untuk memacu peningkatan produksi padi dan kesejahteraan petani dalam upaya memenuhi ketersediaan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Harga beras yang cukup tinggi tersebut, selain merugikan konsumen dan mencederai keadilan ekonomi, juga mempengaruhi tingkat inflasi. Dalam UU No.18/2012 tentang pangan, pemerintah berkewajiban mengelola stabilisasi pasokan dan harga pangan pokok, mengelola cadangan Pangan Pokok Pemerintah, dan distribusi Pangan Pokok.

Keawaman Konsumen

Pelaku usaha berdalih bahwa beras dihasilkan berkualitas premium dengan tampilan yang menarik dan mengandung nilai gizi yang baik.Kemasan beras tersebut diberi label informasi nilai gizi dan angka kecukupan gizi (AKG) yang tidak dipahami konsumen pada umumnya. Produk beras tersebut seolah-olah memiliki kandungan gizi yang istimewa dan layak dibeli mahal, pada hal sebenarnya nilai gizi dan angka kecukupan gizi tersebut, sesuai dengan nilai gizi yang ada pada beras pada umumnya. Menurut Kepala Balai Besar (BB) Pascapanen Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian, Prof Rishaferi sesungguhnya nilai gizi beras dan tingkat kepulenan beras sangat tergantung pada varietas padi dan sebagian dipengaruhi oleh faktor budidaya. Pengolahan beras tidak bisa meningkatkan dan merubah komposisi gizi beras dan kepulenannya, bahkan pengolahan beras berdampak pada penurunan nilai gizinya.

Seperti apa yang diungkapkan oleh Bondan Winarno seorang pakar kuliner Indonesia yang notabene adalah salah satu komisaris dari grup perusahaan produsen beras yang dihebohkan tersebut (dikutip dari Liputan6.com 30/9/2015). Menurut Bondan Winarno, bening dan bersih (ningsih), biasanya dua kriteria tersebut yang disukai masyarakat saat membeli beras. Masyarakat Indonesia itu sebenarnya salah bila memilih beras "ningsih". Beras “ningsih” itu sudah dipoles beberapa kali yang artinya kandungan nutrisinya sudah semakin sedikit.

Menurutnya beras terbaik untuk dikonsumsi adalah beras pecah kulit. Beras ini hanya membuang lapisan luar atau gabah sehingga kandungan gizi pada kulit terluar masih utuh. Walaupun tampak jelek, tapi itu bukan raskin (beras miskin), itu malah the best rice. Berbagai vitamin dan mineral jadi berkurang karena proses pemolesan seperti vitamin B1, B6, B3, fosfor dan mangan yg dibutuhkan tubuh (Liputan6.com 30/9/2015). Sungguh suatu hal yang bertolak belakang dengan beras yang dihasilkan produsen berasyang dihebohkan itu, di grup perusahaan tempat pakar kuliner tersebut berkiprah.

Kelemahan SNI Beras

Rishaferi mengatakan, spesifikasi persyaratan mutu beras (SNI 6128:2015), hanya mengatur mutu dari sisi fisik dan tidak mensyarakatkan nilai gizi. Premium: derajat sosoh (min.) 100%, kadar air (maks.) 14%, beras kepala (min.) 95%, butir patah (maks.) 5%,dan bebas dari butir menir, butir merah, butir kuning/rusak, butir kapur, benda asing,butir gabah. Medium 1: derajat sosoh (min.) 95%, kadar air (maks.) 14%, beras kepala (min.) 78%, butir patah (maks.) 20%; butir menir, butir merah, butir kuning/rusak, butir kapur masing-masing (maks.) 2%; benda asing (maks.) 0,02%, butir gabah (maks.) 1 (butir/100g). Medium 2: derajat sosoh (min.) 90%, kadar air (maks.) 14%, beras kepala (min.) 73%, butir patah(maks.) 25%, butir menir (maks.) 2%; butir merah, butir kuning/rusak, butir kapur masing-masing (maks.) 3%; benda asing (maks.) 0,05%, butir gabah (maks.) 2 (butir/100g).

Medium 3 : derajat sosoh (min.) 80%, kadar air (maks.) 15%, beras kepala (min.) 60%, butir patah(maks.) 35%, butir menir, butir kuning/rusak, butir kapur masing-masing(maks.) 5%; benda asing (maks.) 0,2%, butir merah (maks.) 3%, butir gabah (maks.) 3 (butir/100g). Pada umumnya konsumen tidak begitu paham dengan persyaratan mutu beras tersebut dan sulit membedakannya secara visual di lapangan, ditambah pula tidak ada pengawasan karena SNI tersebut belum diberlakukan secara wajib.

Penamaan kelas mutu beras premium tersebut banyak dimanfaatkan produsen dan pedagang beras. Secara psikologis, konsumen akan menganggap bahwa kelas mutu premium berarti mutu istimewa dan teratas dari segala kriterianya, unggul dalam penampilan, unggul dalam cita rasa dan unggul dalam nilai gizi. Dengan persyaratan mutu yang ada di SNI saat ini (6128:2015), produsen dan pedagang tidak terlalu sulit untuk menghasilkan beras kelas mutu premium atau menaikkan kelas mutu medium menjadi premium.

Produsen beras, dengan melengkapi penggilingan beras dengan mesin cleaner, grader dan polisher saja sudah dapat menghasilkan kelas mutu premium. Bahkan di pedagang dengan teknik pencampuran beras kepala pada beras medium sehingga persentase beras kepalanya naik, sudah dapat memberi nama kelas mutu premium. Toh konsumen tidak akan tahu berapa persisnya persentase beras utuh, dan juga tidak ada pengawasan karena SNI tersebut tidak diberlakukan wajib.Tidak mengherankan, bila kita sering melihat di pasar tradisional, pedagang dengan mudahnya menamakan premium untuk beras dagangannya.
 
Regulasi Edukasi

SNI mutu beras (6128:2015), harus segera direvisi sehingga persyaratan mutu dan penamaan mutu sesuai dengan kelas mutunya yang sebenarnya. Persyaratan kelas mutu premium tidak cukup hanya persyaratan fisik saja. Kelas mutu premium memang harus unggul secara kualitas: fisik, nilai gizi, cita rasa dan keamanan pangan. SNI beras tersebut, perlu diberlakukan secara wajib khususnya untuk kelas mutu premium sehingga menghindari praktek-praktek curang di lapangan. Perdagangan beras kelas mutu premium harus diatur, baik menyangkut kemasan, labeling (nilai gizi, keamanan pangan & tingkat kepulenan) dan peredaran/penjualannya. Penjualan beras premium harus dalam bentuk kemasan.

Kesesuaian redaksi yang tercantum pada kemasan dan kelas mutu beras harus dilakukan pemantauan secara berkala. Edukasi terhadap konsumen perlu dilakukan secara terus menerus terutama melalui media massa, agar konsumen paham betul tentang beras yang sehat dan bermutu yang dibelinya, sehingga konsumen membayar harga beras sesuai dengan mutu yang diperolehnya. SY/HMS