Pemerintah Masih Setengah Hati Kembangkan Bioteknologi Pangan

udin abay | Selasa, 12 September 2017 , 11:34:00 WIB

Swadayaonline.com - Pemerintah sepertinya masih setengah hati untuk mengembangkan bioteknologi bidang pertanian. Padahal, teknologi tersebut dapat menggenjot produksi pangan nasional sehingga kebergantungan terhadap impor bisa ditekan.

Anggapan bahwa bioteknologi tanaman atau hasil produk rekayasa genetik pada tanaman tidak aman bagi kesehatan dan lingkungan, masih menjadi ganjalan untuk diterapkan di Indonesia. Laporan PG Economics mencatat, selama 20 tahun terkahir, bioteknologi tanaman telah mengurangi dampak lingkungan pertanian secara signifikan dan mendorong pertumbuhan ekonomi di 26 negara di mana teknologi tersebut diadopsi.

“Teknologi pertanian yang inovatif berkontribusi dalam melestarikan sumber daya alam dengan menanam lebih banyak tanaman bermutu tinggi. Aplikasi tersebut membantu mengurangi angka kemiskinan di negara-negara berkembang sebanyak 16,5 juta petani kecil,” ujar Graham Brookes Direktur PG Economics pada talk show Dampak Global Tanaman Biotek : Efek Ekonomi dan Lingkugan bersama Forum Wartawan Pertanian (Forwatan). (11/9/2017).

Menurutnya, selama 20 tahun terakhir di mana para petani telah diberikan akses dan pilihan menanam tanaman biotek atau hasil rekayasa genetika. Mereka telah secara konsisten mengadopsi teknologi ini dan memberikan kontribusi bagi suplai makanan yang lebih berkelanjutan dan lingkungan yang lebih baik di mana mereka tinggal.

Pakar Pertanian Universitas Lampung (Unila), Bustanul Arifin menyebutkan nilai impor beras selama pemerintahan Joko Widodo sangat besar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sejak 2014 hingga September ini, nilai impor beras mencapai 2,84 juta ton senilai 16,2 trilliun rupiah. Melihat besaran nilai impor tersebut, tidak mungkin hanya beras premium seperti yang diklaim Kementerian Pertanian (Kementan) selama ini. Kuat dugaan impor juga dilakukan untuk beras jenis lainnya, termasuk medium dan sebagainya.

“Pemerintah perlu sungguh-sungguh mengembangkan bioteknologi pertanian. Karena sampai saat ini sama sekali belum dimulai. Padahal, ini merupakan jurus ampuh mengatasi meningkatnya laju konversi lahan per tahun sebab bioteknologi pertanian tidak membutuhkan lahan yang terlalu luas tetapi menekankan pada kualitas tanaman,” tegasnya

Bioteknologi merupakan upaya meningkatkan kualitas tanaman melalui aplikasi teknologi, seperti memodifikasi fungsi biologis suatu organisme dengan menambahkan gen dari organisme lain. Beberapa negara telah banyak mengembangkannya seperti Filiphina, Vietnam, Brasil, Argentina serta banyak negara lainnya, tetapi Indonesia belum kunjung berjalan.

Direktur Indonesian Biotecnology Information Centre (IndoBIC), Bambang Purwantara menambahkan ada banyak faktor mengapa bioteknologi pertanian di Indonesia tidak berkembang, salah satunya pada regulasi serta implementasi. Padahal, apabila kebijakan ini telah lama dikembangkan, pendapatan petani Indonesia akan meningkat. Hal itu berbanding terbalik dengan kondisi saat ini yang mana pendapatan petani terus merosot tajam, tak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk produksi.

 

Menurutnya, persoalan krusial yang melanda pertanian di Indonesia saat ini meliputi penurunan jumlah petani dan percepatan laju alih fungsi lahan. Karena itu, dia menyarankan perlunya upaya lain pada sektor pertanian yang lebif efektif dan efisien. Bila tidak, pemerintah tak akan mampu mengimbangi pertumbuhan populasi penduduk dengan pasokan pangan nasional. Indonesia, sekitar 65 persen penduduk miskinnya ada di desa dan dari jumlah itu, sekitar 60 persen adalah petani. Ini harus diakhiri dengan pertanian inovatif,” tegasnya.

Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomia,Ignatia Maria Honggowati mengatakan, sebenarnya pemerintah melalui produk hukumnya telah memberikan lampu hijau untuk hasil produk rekayasa genetik tanaman diterapkan di Indonesia. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2005 tentang keamanan hayati produk rekayasa genetika yang mengatur antara lain, jenis dan persyaratan PRG, pemasukan PRG dari luar negeri, pengkajian, pelepasan dan perdaran serta pemanfaatan PRG.

“Selagi memenuhi persyaratan tersebut, khususnya soal kemanan bagi pangan dan lingkungan, hal tersebut diwenangkan. Untuk itu, kami dari pemerintah telah membuat roadmap soal ini dan masih dikaji. Diharapkan pada 2018 telah selesai dan dapat dimplementasikan di masyarakat sebelum isu-isu negatif terus dihembuskan,” ujar Maria. SY