Wujudkan Diversifikasi Pangan, Kementan Tingkatkan Industri Pengolahan Bahan Baku Pangan Lokal

udin abay | Rabu, 24 Juli 2019 , 20:53:00 WIB

Swadayaonline.com - Salahsatu tugas Kementerian Pertanian adalah melakukan pengembangan diversifikasi berbasis pangan lokal. Hal tersebut untuk mengurangi ketergantungan impor Indonesia terhadap bahan baku pembuat makanan seperti gandum dan lainnya. Indonesia merupakan negara subur dan kaya akan pangan lokal yang dapat diolah menjadi berbagai menu makanan yang aman, sehat, bergizi dan berimbang. "Kita punya bahan pangan lokal yang bisa diproduksi menjadi tepung terigu, yang bisa digunakan sebagai bahan dasar makanan seperti singkong, sagu, jagung, cassava, dan lainnya", ujar Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian, Agung Hendriadi pada acara Focus Group Discussion (FGD) dengan tema "Melokalkan Industri Bahan Baku Pangan" di Menara Kadin, Jakarta. (24/72019)

Menurut Agung, Kementan akan menggarap pangan lokal tersebut dalam bentuk industri pengolahan tepung intermediate kering. Industri pengolahan tersebut dimulai dengan cara membangun UMKM dan mengajak Kadin ikut memproduksi dan menggunakannya sebagai pangan lokal. Menurutnya, bila produksi sagu Indonesia mampu berproduksi 60 ton perhektar, maka mampu bersaing mengimbangi harga bahan baku impor. "Kita ingin bercita-cita melokalkan bahan baku kita, atau mencampurkan dengan bahan baku lokal minimal 10 persen. Aspek ekonomi makro dapat meningkatkan pendapatan petani, menghemat desvisa nasional, meningkatkan peran pangan lokal, dan lainnya", tambahnya.

Agung mengakui pengembangan program itu masih memiliki beberapa kendala. Salah satunya adalah tingkat produktivitas rendah. Jika produktivitasnya rendah, imbuh dia, maka harga bahan baku per kilonya tinggi. Contohnya, terang Agung, jika singkong harga bahan baku per kilonya Rp 3.000, maka untuk jadi tepung singkong harganya dikalikan 4. Artinya, harga jual tepung singkong bisa mencapai Rp 12.000 per kilogram (kg). "Sedangkan tepung terigu semahal-mahalnya Rp 8.000. Jadi, tidak bisa bersaing dong," imbuhnya. Oleh karena itu, Kementan akan bergerak dari hulu ke hilir. Apabila jumlah tepung yang diproduksi naik, harga bahan baku singkong bisa menjadi Rp 2.000 per kg. Alhasil, harga tepung singkong nantinya bisa sama dengan harga tepung terigu, yakni Rp 8.000 per kg.

Menurut perwakilan Dirjen Industri Agro Kemenperin Yusuf Akbar, Kemenperin telah melakukan beberapa upaya untuk mendorong industri tepung berbahan baku lokal. Pertama, pemerintah mengusulkan industri pangan berbasis pati, ubi kayu, dan berbagai macam pati palma akan mendapatkan tax allowance. "Diusulkan untuk dimasukan di lampiran satu di tax allowance, sehingga menimbulkan gairah bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia," ujar dia. Sementara itu,  kegiatan riset industri untuk produk tepung yang bahannya tidak umum, seperti iles-iles dan kelor, akan diberikan fasilitas pajak. "Kami mencoba memberikan fasilitas pajak sebesar 300 persen, baik disisi inovasi maupun yang audah melakukan kerja sama dengan SMK melalui program vokasi," tambahnya.

Ketua Komite Tetap Kadin, Hengky mengatakan singkong mempunyai produksi dan potensi yang besar yang tidak hanya digunakan untuk industri makanan tetapi juga untuk tekstil dan kertas namun perlu diidentifikasi jenisnya. Sementara sagu merupakan tanaman tertua yang ada di Indonesia uang sudah ada sejak jaman Sriwijaya sudah dikembangkan. Namun permasalahannya, di Indonesia perkebunan tersebut masih dalam induatri rakyat, membuat supply-demain juga menentukan harga. “Dalam rangka ketahanan pangan produk lokal seperti singkong, sagu dan jagung yang ingin diangkat menjadi tepung-teoungan, sehingga akan tercipta ragam produk makanan”, tambahnya.

sementara itu, Ketua Gabungan Pengisaha Makanan dan Minuman, Andi Lukman mengungkapkan bahwa saat ini dari konsumsi perkapita masyarakat Indonesi 50 persen untuk makanan dan minuman. namun bila dibandingkan negara lain, konsumsi perkapita Indonesia masih kecil. Bila dilihat dari hal tersebut, masih banyak potensi untuk pengembangan konsumsi makanan lokal. namun tantangan bagi industri pangan adalah regulasi yang sangat penting termasuk ketersediaan bahan baku dan logistik. contohnya, produksi hortikultura sangat diminati untuk makanan dan minuman, namun masih skala kecik-kecil sehingga masih banyak yang memakai buah impor.

"Potensi produksi kita cukup besar, hanya belum menjadikan satu integrasi/industri. Kita harus berfikir lingkup industri, jangan berfikir petani. dengan berfikir industri seperti dalam bentuk korporasi petani yang besar, maka mereka akan berfikir dan menyiasati bagaimana logistik atau efisiensinya. Jadi harus mwrubah mainset mereka menjadi pelaku industri", ujar Andi. SY/WRO