Dirjen PKH: Kendalikan Flu Burung H9N2 Pada Unggas Dengan Biosekuriti dan GAHP

udin abay | Jum'at, 29 Desember 2017 , 14:07:00 WIB

Swadayaonline.com - Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH) Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita mengatakan, permasalahan perunggasan di Indonesia saat ini salah satunya adalah karena masih adanya kelemahan dalam manajemen pemeliharaan. Hal tersebut disampaikannya saat menanggapi pemberitaan terkait penyebab terjadinya lonjakan harga telur pada Hari Raya Natal dan jelang Tahun baru 2018 di berbagai daerah yang disinyalir akibat berjangkitnya virus flu burung H9N2 yang mengganggu produksi telur di tingkat peternak. 

I Ketut Diarmita menyampaikan, penurunan produksi telur tidak semata disebabkan oleh infeksi H9N2, namun juga dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti praktik pemeliharaan yang kurang baik, misalnya: kualitas pakan, sirkulasi udara, sistem perkandangan dan kurangnya perhatian peternak terhadap penerapan biosekuriti di kandang. (28/12/2017)

I Ketut Diarmita menjelaskan, virus flu burung H9N2 terdeteksi pada awal tahun 2017 melalui surveilans yang dilakukan oleh Balai Veteriner  Kementerian Pertanian di sejumlah daerah yaitu Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Bali, Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta. 

“Virus H9N2 merupakan jenis virus flu burung yang bersifat Low Patogenic Avian Influenza/ LPAI, meskipun tidak mematikan akan tetapi dapat menyebabkan penurunan kekebalan tubuh unggas dan kerusakan pada beberapa organ. Karena dapat murunkan kekebalan tubuh unggas maka ketika infeksinya  bersamaan dengan penyakit infeksi lainnya seperti Newcastle Disease (ND) atau lebih dikenal dengan Tetelo, Infectious Bronchitis (IB) dan Egg Drop Syndrome (EDS) maka dapat mengakibatkan turunnya produksi telur”, ungkap I Ketut Diarmita. 

I Ketut menuturkan, untuk menurunkan kasus H9N2, Pemerintah  terus berupaya maksimal untuk segera memproduksi vaksin, namun proses produksi vaksin H9N2 memerlukan waktu yang cukup lama terutama untuk isolasi dan purifikasi virus. Saat ini proses produksi vaksin sudah sampai tahap pengujian mutu dan keamanan di Pusvetma dan akan dilanjutkan di Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH). Menurutnya, hal tersebut perlu dilakukan karena Pemerintah harus memastikan vaksin yang akan diproduksi aman dan berkualitas ketika akan didistribusikan kepada masyarakat.

Pada kesempatan terpisah, Direktur Kesehatan Hewan Fadjar Sumping Tjatur Rasa, menegaskan, vaksinasi bukan satu-satunya cara dalam mengendalikan infeksi H9N2. Menurutnya, tindakan penerapan tindakan biosekuriti yang ketat,  perbaikan mutu pakan, pemberian vitamin dan immunostimulan dapat mencegah dan mengendalikan virus H9N2. 

“Ditjen PKH Kementerian Pertanian melalui sistem IVM online (Influenza Virus Monitoring) telah membangun sistem pengawasan penyebaran virus flu burung, sehingga dapat dilakukan analisa melalui identifikasi, karakterisasi dan sequenzing DNA.  “Saat ini, sistem IVM online ini merupakan teknik monitoring penyakit flu burung yang terbaik dan terdepan di kawasan Asia”, ungkapnya.

Lebih lanjut disampaikan, saat ini pemerintah juga sedang berupaya untuk menggerakkan ekspor unggas ke beberapa negara. Tahun 2016 Indonesia telah melakukan ekspor Telur Tertunas ke Myanmar.  “Upaya ekspor produk unggas olahan telah berhasil dilakukan ke Papua Nugini dan juga telah  disetujui untuk ekspor ke Jepang”, ungkap Fadjar Sumping.  “Dalam waktu dekat kita juga akan ekspor ke Timor Leste”, ujarnya.  

“Kita menginginkan agar GDP (Gross Domestic Product) Indonesia bisa meningkat, sehingga pelaku industri perunggasan diminta untuk ekspor, terutama perusahaan integrator”, kata Fadjar Sumping. Lebih lanjut disampaikan, untuk mendapatkan persetujuan dari negara calon pengimpor, maka ayam hidup harus berasal dari peternakan ayam yang telah mendapatkan sertifikat kompartemen bebas AI dari Kementerian Pertanian.

Menurutnya, perdagangan antar negara saat ini menuntut adanya informasi tentang sistem dan status kesehatan hewan,  bagaimana hewan dipelihara, diangkut dan disembelih, sehingga penerapan kesejahteraan hewan (animal welfare) dituntut untuk melekat pada informasi produk hewan yang dijual.  “Tanpa dukungan masyarakat, sulit rasanya mencapai kemajuan dalam memberlakuan prinsip–prinsip kesejahteraan hewan untuk meningkatkan daya saing produk hewan di Indonesia”,ungkapnya. 

Fadjar Sumping menyampaikan, saat ini pemerintah juga terus mendorong peternak unggas lokal untuk dapat berdaya saing dengan meningkatkan manajemen pemeliharaan melalui penerapan Good Animal Husbandry Practices (GAHP) dan juga menerapkan sistem kompartemen bebas penyakit AI. “Sampai saat ini Pemerintah telah menetapkan 109 kompartemen dan yang masih berlaku sebanyak 54 kompartemen bebas AI (flu burung)”, ungkap Fadjar Sumping. “Dari 54 kompartemen tersebut terdapat 2 farm/kompartemen bebas AI untuk unggas lokal dan saat ini sudah siap ekspor antara lain ke Malaysia setelah dilakukan audit”, tambahnya.

Fadjar Sumping menekankan, upaya menjaga status kesehatan hewan dan iklim usaha yang kondusif di Indonesia perlu terus dijaga untuk meningkatkan produksi demi kesejahteraan para peternak. 

“Kita harus mau berubah mengikuti perkembangan dunia, jika tidak mau berubah, maka kita sendiri yang akan digilas oleh perubahan itu sendiri”, kata Fadjar Sumping. SY/HMS