Pertanian dan Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca

udin abay | Jum'at, 31 Desember 2021 , 16:46:00 WIB

Swadayaonline.com - Penyuluh pertanian era kekinian dituntut untuk lebih kreatif. Penyuluh pertanian pun harus mampu menjadi penyuluh milenial yang kreatif dalam memberikan penyuluhan, utamanya dalam pemilihan materi, metode dan media penyuluhan. Perhiptani Jember melihat peluang tersebut dan bekerjasama dengan Soka Radio 102.1 MHz FM Jember untuk melaksanakan penyuluhan pertanian melalui media radio dengan metode talkshow. Perhiptani Jember menjadi narasumber tetap untuk program Ruang Bicara Publik (RUBRIK) yang disiarkan langsung 2 (dua) kali dalam sebulan.

Program Rubrik kali ini, mengangkat tema pertanian dan mitigasi emisi gas rumah kaca  (GRK). Narasumber yang dihadirkan adalah 4 (empat) orang penyuluh pertanian BPP Ajung yang juga merupakan Trainer di kegiatan Pelatihan Climate Smart Agriculture (CSA) SIMURP.

Isu tentang emisi gas rumah kaca menjadi materi yang hangat diperbincangkan oleh seluruh insan pertanian. Jember merupakan salah satu produsen hasil pertanian terbesar yang ada di Indonesia. Namun berbanding lurus dengan fakta tersebut, ternyata hasil penelitian juga menunjukkan bahwa Jember merupakan produsen emisi gas rumah kaca terbesar di Jawa Timur.

Gas rumah kaca pada dasarnya terbentuk secara alami. Gas rumah kaca berfungsi menahan panas matahari supaya tidak semuanya dipantulkan kembali. Hal ini untuk menjaga agar suhu bumi tetap hangat pada saat malam hari. Gas rumah kaca yang dimaksud antara lain karbon dioksida, nitrogen dioksida, methana dan CFC. Namun ketika era industrial dimulai pada tahun 1950, produksi gas rumah kaca menjadi berlebih sehingga mengakibatkan pemanasan global yang berujung pada kenaikan muka air laut, kekeringan, banjir dan cuaca yang tidak menentu.

Setidaknya ada 4 sektor yang mendorong peningkatan emisi gas rumah kaca, yaitu sektor energi, industri dan produk turunannya, pertanian dan kehutanan serta limbah. Pemerintah Indonesia sendiri telah berupaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 % pada tahun 2020. Sebagai ilustrasi, pada sepiring makanan yang kita konsumsi mampu menunjukkan seberapa besar emisi gas rumah kaca yang dihasilkan. Nasi dan sayur berasal dari sektor pertanian yang mana menghasilkan karbon dioksida, methana dan nitogen dioksida pada saat bersamaan karena penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang berlebihan. Daging yang kita konsumsi berasal dari peternakan yang mana menghasilkan 56 kg gas methana/ekor/tahun. Hal tersebut diperparah dengan semakin meningkatnya penggundulan hutan, sehingga tidak ada filter terhadap emisi karbon dioksida. Pada sektor pertanian, proses dekomposisi limbah pertanian yang tidak sempurna juga memicu munculnya emisi gas rumah kaca.

Oleh karenanya, dipandang perlu untuk melakukan upaya mengurangi dampak dari resiko tersebut (mitigasi). Beberapa upaya yang dapat dilakukan antara lain pemilihan benih varietas unggul adaptif cekaman iklim, pengelolaan tanah dengan manajemen kesuburan, pengelolaan air dengan menerapkan sistem pengairan intermittent, dan pemanfaatan limbah pertanian menjadi biogas. Gas methana yang dihasilkan dari biogas dapat dikonversi menjadi energi dan sisa hasil biogas dapat langsung digunakan sebagai pupuk organik. Selain itu, penggunaan pestisida nabati dan hayati juga bisa dilakukan dengan bahan baku yang dapat diperoleh dari lingkungan disekitar dan cara pembuatan yang relatif mudah. Buah maja, daun sirsak, dan akar tuba merupakan beberapa bahan yang bisa dimanfaatkan untuk pembuatan pestisida nabati.

BPP Ajung sebagai BPP Kostratani yang juga berfungsi sebagai pusat pembelajaran pertanian beberapa saat lalu juga telah melaksanakan pelatihan bagi petani untuk membuat pestisida nabati, pestisida hayati,  POC (Pupuk Organik Cair), Bio ZPT dan PGPR (Plant Growth Promoting Rhyzobacteria) yang dilaksanakan sejak tahun 2020 dan semakin berkembang di tahun 2021 ini.  SY/BSYN/YNI