Perlu Evaluasi dan Strategi Komprehensif Meningkatkan Produksi Sawit Nasional

udin abay | Jum'at, 05 Juli 2024 , 11:46:00 WIB

Swadayaonline.com - Jika dilihat dari luas lahan dan produksinya, sawit Indonesia lebih besar ketimbang Malaysia. Namun kenyataannya, menurut Ketua Kompartemen Media Relation Gabungan Kelapa Sawit (Gapki), Fenny Sofyan dalam diskusi bersama Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) di Auditorium Kementerian Pertanian (Kementan) Jakarta, Kamis (4/7/2024), produktivitas sawit Indonesia cenderung menurun dan kalah jika dibandingkan dengan negara tetangganya, Malaysia.

"Produktivitas sawit (Indonesia) cenderung menurun. Memang kalau dilihat dari produksinya Indonesia lebih besar dari Malaysia, karena lahannya juga lebih luas. Tapi kalau dilihat dari produktivitas, ternyata sawit kita di bawah dari Malaysia. Itu yang harus kita evaluasi bersama," ujarnya.

Penyebab turunnya produktivitas tanaman sawit, menurutnya, dikarenakan komposisi umur tanaman sawit di Indonesia 40% nya atau seluas 6,57 juta hektar sudah masuk kategori tua. Untuk itu, menurutnya perlu dilakukan percepatan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).

Jadi edukasi terkait dengan pentingnya peremajaan kelapa sawit, kemudian perusahaan-perusahaan juga mensosialisasikan agar perusahaan secara konsisten melakukan replanting. Jangan sampai nanti terlambat," kata Fenny.

Faktor lainnya, lanjut Fenny, ada moratorium kebun sawit yang termaktub dalam Instruksi Presiden (Inpres) 10/2011, Inpres 6/2013, Inpres 8/2015, Inpres 5/2019. Pasalnya moratorium itu pemerintah menunda pemberian izin pembukaan lahan baru untuk kelapa sawit. 

Pengusaha sawit, kata dia, tidak menuntut kebijakan itu dicabut. Namun, pihaknya menilai perlu dilakukannya evaluasi dan strategi yang komprehensif untuk meningkatkan produksi sawit nasional.

"Dengan adanya moratorium kebun sawit kita harus mengevaluasi bagaimana caranya memproduksi lebih banyak dalam waktu cepat, karena kita berlari berkejaran dengan waktu yang mana konsumsi lebih tinggi tapi kebutuhan tidak bisa dielakkan," ucapnya.

"Apalagi ada program-program yang kemudian ingin ada value added dari produk kelapa sawit melalui hilirisasi. Jadi harus cepat untuk meningkatkan produktivitas ini gimana caranya gitu? Apakah moratorium ini kemudian dievaluasi atau kemudian ada intensifikasi yang harus dilakukan. Nah itu harus Kemudian ditegaskan oleh pemerintah selanjutnya. Jadi memang harus ada program yang ajeg," imbuh dia.

Lebih lanjut, Fenny menyebutkan dampak dari adanya penurunan produksi dan produktivitas, diantaranya mengorbankan volume ekspor untuk memenuhi kebutuhan domestik, nilai devisa dan penerimaan negara berkurang, kemampuan membiayai program biodiesel, replanting, dan lain sebagainya jadi menurun, serta keberlanjutan hilirisasi dan peningkatan program biodiesel menjadi terancam, karena kekurangan pasokan bahan baku CPO.

"Jadi hulu dari industri kelapa sawit adalah kunci dari program Indonesia emas 2045, terutama dalam hilirisasi dari produk value added kelapa sawit. Itu menjadi kuncinya," pungkasnya.

Dalam diskusi tersebut, sejumlah kalangan mendesak terbentuknya Badan Sawit Nasional demi mengentaskan persoalan industri sawit di pemerintahan Prabowo-Gibran yang akan datang. Pasalnya, tampak tumpang tindih kebijakan yang dikeluarkan berbagai pihak.

Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung menuturkan, Badan Sawit bakal menjadi database seluruh aktivitas dan mengantisipasi hal-hal negatif.

“Dengan data yang lengkap maka akan meningkatkan replanting, permasalahan lahan diatasi, pupuk kurang di mana langsung dikirim, karena semua terdatabase dalam satu Badan Sawit Indonesia,” tuturnya.

Gulat bilang, pihaknya juga telah berdiskusi dengan tim presiden terpilih Prabowo-Gibran bahkan kajiannya tengah di uji oleh Universitas Indonesia (UI) terkait seberapa penting rencana dibentuknya Badan Sawit Indonesia.

“Mungkin minggu depan sudah keluar uji akademisnya Badan Sawit, artinya ini disimulasi keluarnya Badan Sawit,” tandasnya.

Sementara itu, Guru Besar IPB University, Rachmat Prambudy menyampaikan adanya aspirasi dari petani untuk pembentukan Badan Sawit ini menjadi dasar yang kuat.

“Saya sebagai guru besar IPB dan anggota HKTI saya merasa ini menjadi kebutuhan, mungkin bagian dari strategi kita untuk menghasilkan produk unggulan yang berdaya saing,” kata Rachmat. SY