Dampingi Petani, Balitbangtan Sukses Tingkatkan Produksi Kakao Sultra

udin abay | Rabu, 29 April 2020 , 15:39:00 WIB

Swadayaonline.com - Menurut data International Cocoa Organization (ICCO), tahun 2018 Indonesia menduduki peringkat ke-6 produsen biji kakao terbesar dunia pada dengan volume produksi mencapai 220.000 ton. Melihat sumber daya yang ada, tentunya potensi peningkatan produksi kakao di Indonesia masih terbuka luas, salah satunya melalui peningkatan produktivitas kakao.  Salah satu daerah penghasil kakao di Indonesia adalah Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).

Usai penyelenggaraan Hari Pangan Sedunia ke-39 Tahun 2019 yang lalu, produktivitas kakao di wilayah Sultra, khususnya di lokasi Gelar Teknologi dan sekitarnya di Kabupaten Konawe Selatan menunjukkan peningkatan yang cukup menggembirakan. Tak hanya itu, petani di wilayah tersebut kini bisa menikmati panen kakao sepanjang tahun.

Hal itu tak lepas dari peran Balitbangtan Kementerian Pertanian. Prof. Rubiyo, peneliti kakao Balitbangtan saat dihubungi via telepon, Selasa (28/4) menyatakan bahwa sejak awal persiapan Hari Pangan Sedunia, para peneliti Balitbangtan telah mendampingi para petani dan memperkenalkan berbagai inovasi teknologi yang terus digunakan hingga saat ini.

“Kini, yang perlu diperhatikan petani untuk memaksimalkan hasil kakao diantaranya mulai dari pemupukan, pencegahan hama dan penyakit, pemangkasan, pengairan, pembuatan rorak, penataan tanaman naungan, pemasakan buah serempak, dan penyerbukan buatan tanaman kakao.” Lanjutnya. Selain itu, menurut Rubiyo satu inovasi yang juga dikembangkan adalah sambung samping.

Inovasi sambung samping dianggap lebih mudah dan cepat, karena dapat meningkatkan produksi kakao tanpa melakukan penanaman kembali (replanting). Inovasi ini dilakukan dengan cara menyambungkan batang atas (entres) yang diperoleh dari tanaman induk unggul ke batang tanaman kakao yang memiliki produktivitas rendah. Entres yang digunakan adalah tanaman muda, berusia sekitar 3 bulan berwarna hijau kecoklatan. 

Jika entres diperoleh dari tempat yang jauh dari tanaman batang bawah, maka perlu dilakukan pengemasan khusus agar entres tetap segar saat dilakukan penyambungan. “Selain entres, perlu diperhatikan bahwa batang bawah yang akan disambung samping harus sehat.” Ujar ahli kakao ini.

Menurut peneliti yang dikukuhkan sebagai Profesor Riset Kementan ke-135 pada 2018 ini, pemangkasan produksi dan pemeliharaan dianggap penting untuk perkembangan fisiologi tanaman. Pemangkasan ringan harus dilakukan secara rutin. “Selama pendampingan, petani diajarkan secara detail, kapan pemangkasan dilaksanakan, cabang mana yang harus dipangkas yaitu cabang balik, mati, sakit, dan overlapping, alat apa yang dipergunakan, dan cara pemangkasan yang benar.” Tambahnya.

Pengendalian hama dan penyakit dilakukan untuk menyelamatkan buah kakao. Pengendalian ini tidak selalu menggunakan penyemprotan obat-obatan kimiawi. Beberapa hama perlu ditangani dengan pengaturan kelembaban. Sedangkan untuk buah yang masih kecil, dilakukan dengan teknologi sarungisasi. 

Selanjutnya, pupuk berimbang baik organik ataupun anorganik juga sangat penting. Selain pupuk kimia, juga direkomendasikan pemupukan dari bahan organik yang sebelumnya tidak dimanfaatkan di kebun coklat. Seperti cangkang buah, bekas pangkas, daun seraseh kering, dan lain-lain. Bahan organik ini dimasukkan kedalam lubang roar sehingga bisa menutrisi tanah dan mengikat air agar pembuangan lebih baik.  

Rubiyo juga mengingatkan bahwa selain budidaya, penanganan panen dan pasca panen juga penting. Cara panen yang tepat dan alat yang digunakan juga diajarkan kepada petani. “Setelah pendampingan yang dilakukan Balitbangtan, kualitas biji kakao yang dihasilkan lebih baik bahkan mencapai 95 % bernas.” Ungkapnya.

Aspek kelembagaan juga penting untuk disentuh saat pendampingan. Selama ini petani bekerja sendiri-sendiri. “Padahal dalam penanganan hama, perlu dilakukan pengendalian bersama-sama sehingga aktivitas pengendalian efektif.” Lanjut Rubiyo. Selain itu, dengan penguatan kelembagaan petani, akan membuat bargaining position petani lebih kuat.

Rubiyo menjelaskan bahwa pendampingan yang dilakukan Balitbangtan mengutamakan model partisipatif, dimana solusi yang ditawarkan nantinya sesuai dengan masalah yang dihadapi petani. Sesuai juga dengan harapan yang diingikan petani.

“Dengan adanya pendampingan yang dilakukan baik saat budidaya, panen, pasca panen, maupun pada aspek kelembagaan, diharapkan juga akan mendorong konsistensi petani untuk menanam kakao.” Sambungnya.

Peningkatan produktivitas dengan pendekatan teknologi  pada akhirnya diharapkan akan berpengaruh pula pada peningkatan kesejahteraan petani. Break Event Point (BEP) budidaya kakao saat ini sebesar Rp 15 ribu/Kg, sedangkan harga biji kakao mencapai Rp 21-22 ribu/Kg. Dari segi harga jual, terbukti agribisnis kakao layak untuk diusahakan. 

Rubiyo juga mengungkapkan sangat bersyukur atas kerja keras Tim Balitbangtan, penyuluh, dan petani sehingga membuahkan hasil yang maksimal. “Petani itu tidak mudah meniru. Mereka pasti mau menerapkan teknologi jika ada buktinya, jika dirasakan manfaatnya seperti yang dialami petani kakao.” Tutupnya. SY/HMSL