Tanaman Obat, Baik untuk Imunitas sekaligus Pengungkit Ekonomi Petani

udin abay | Jum'at, 03 Juli 2020 , 11:15:00 WIB

Swadayaonline.com - Kementerian Pertanian cq Direktorat Jenderal (Ditjen) Hortikultura memacu produksi tanaman obat di tengah pandemi COVID-19.

Selain bermanfaat untuk meningkatkan daya tahan tubuh, tanaman obat juga berdampak baik pada peningkatan ekonomi masyarakat, terutama petani.

Demikian terungkap pada virtual literacy bertajuk ‘Tanaman Obat sebagai Peningkat Imunitas Tubuh’, Kamis (2/7/2020).

Virtual Literacy tersebut dibuka oleh Sekretaris Ditjen Hortikultura Kementan Retno Sri Hartati Mulyandari dan diikuti lebih dari 3.000 peserta secara virtual baik melalui zoom meeting maupun live syreaming melalui youtube

Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Kementan Tommy Nugraha saat menyampaikan pidato kunci menjelaskan bahwa di masa pandemi COVID-19, perlu berbagai upaya  untuk meningkatkan imunitas agar tubuh mampu bertahan dalam menghadapi berbagai penyakit.
 “Dengan berbagi pengetahuan, bisa membuka mata mengenai pentingnya tanaman obat untuk meningkatkan imunitas,” katanya.

Dia menjelaskan bahwa Indonesia memiliki beragam potensi tanaman obat. Beberapa di antaranya sudah dimanfaatkan sejak zaman nenek moyang.

 Kementan, katanya, akan terus memperhatikan pemanfaatan tanaman obat. Apalagi secara ekonomi, pemanfaatan tanaman obat memberi manfaat yang sangat positif. “Tanaman obat juga bisa memberi kontribusi pada ekspor Indonesia, seperti jahe, kunyit,  dan kapulaga,” kata Tommy.

Kepala Balai Penelitian Tanaman Obat dan Rempah Evi Savitri mengungkapkan, sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi, Indonesia punya banyak potensi tanaman obat.
 “Ada setidaknya 10.000 jenis tumbuhan yang memiliki potensi sebagai tanaman obat,” katanya.

Informasi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), setidaknya ada 15 jenis tanaman yang potensial untuk menangkal COVID-19. 
Evi mengungkapkan, beberapa jenis tanaman obat tersebut diantaranya adalah temu lawak, kunyit, temu managga, kencur, meniran, sambiloto, dan yang banyak dicari saat pandemi COVID-19 merebak, adalah jahe.
Evi menuturkan, tanaman-tanaman obat tersebut sudah terbukti dalam pengujian laboratorium mengandung bahan-bahan yang bermanfaat sebagai imunostimulan seperti flavanoid.
 “Dari uji moleculer docking, beberapa tanaman obat terbukti mampu menghambat virus Corona. Tentu masih butuh pengujian lebih lanjut,” katanya. 

Menurut Evi, Kementan sudah merilis sejumah varietas unggul tanaman obat dengan produktivitas dan memiliki kandungan imunostimulan tinggi dibanding varietas yang sudah ada. Di antaranya adalah dua varietas jahe merah, jahe putih, temu lawak 3 varietas, kunyit 4 varietas, dan pegagan 2 varietas.

Sementara itu Chevi Permadi, Ketua Kelompok Tani Berkah Alam di Sukabumi, menyatakan  bahwa usaha budidaya tanaman obat sangat prospektif karena permintaan yang terus meningkat. “Apalagi saat pandemi COVID-19, kami sangat kewalahan memenuhi permintaan,” katanya.

Chevi mengungkapkan, sebagai kelompok penangkar benih, biasanya permintaan pada awal tahun (Januari-April) tidaklah banyak bahkan cenderung berkurang karena sudah melewati musim tanam.

 Namun demikian, saat pandemi COVID-19 merebak, permintaan pada periode tersebut justru melonjak hingga 200%. “Itu belum termasuk permintaan jahe untuk konsumsi,” katanya.

Secara hitung-hitungan, budidaya jahe merah menguntungkan.  Chevi mengungkapkan dalam satu hektar lahan butuh investasi sebesar Rp 70,2 juta untuk kebutuhan benih, pupuk, dan tenaga kerja.

Panen yang dihasilkan bisa mencapai 15 ton bahkan hingga 18 ton jika benih dan pupuk yang digunakan berkualitas baik.
Dengan asumsi harga per kilogram jahe merah sebesar Rp10.000, maka panen jahe merah bisa meraih omset sebesar Rp150 juta.

 Setelah dikurangi investasi, maka keuntungan yang diperoleh petani bisa mencapai Rp79,8 juta. “Jika dirata-rata, penghasilan petani mencapai Rp5 juta per bulan,” katanya.

Kepala Bidang Humas Industri Jamu dan Farmasi PT Sido Muncul Tbk Bambang Supartoko menyatakan pentingnya peningkatan produksi tanaman obat. Pasalnya sebagian besar tanaman obat yang dimanfaatkan untuk industri jamu dan farmasi saat ini masih diambil dari alam. “70% masih diambil dari alam, dan baru 30% yang berasal dari budidaya,” katanya.

Bambang menyatakan peningkatan konsumsi tanaman obat perlu dikuti dengan inovasi, baik di on farm maupun off farm. SY/HMSH