Budidaya Kelinci sebagai Alternatif Sumber Protein Hewani Masyarakat Perkotaan

udin abay | Selasa, 25 Agustus 2020 , 17:54:00 WIB

Swadayaonline.com - Kelinci merupakan salah satu hewan ternak yang berpotensi sebagai penghasil protein hewani yang mudah diternakkan oleh siapa saja. Kandungan protein terdapat pada daging kelinci lebih tinggi dari protein hewan ternak lainnya. Karena itu, kelinci bisa menjadi alternatif sumber protein unggulan di perkotaan.

Kepala Balitbangtan Kementerian Pertanian, Fadjry Djufry melalui sambungan telepon mengatakan bahwa Kementerian Pertanian (Kementan) tidak hanya fokus membangun peningkatan populasi ternak untuk memenuhi kecukupan stok daging. Tetapi, juga untuk membangun dan mendorong sumber pangan dari produk hewani, salah satunya kelinci yang mengadung protein hewani yang tinggi. 

“Budidaya kelinci merupakan salah satu alternatif dalam penyediaan daging untuk pemenuhan protein hewani dan sekaligus sebagai upaya peningkatan pendapatan masyarakat. Pengembangan ternak kelinci merupakan pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki Indonesia untuk menjamin kesejahteraan pangan penduduknya”, jelasnya.

“Walaupun tidak sepopuler dengan beternak ayam ataupun bebek dan kambing, bukan berarti beternak kelinci tidak mempunyai peluang besar”, katanya menambahkan.

Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jakarta, Arivin Rivale menjelaskan bahwa dalam Desain Besar Pertanian Perkotaan DKI Jakarta 2018-2030, pengembangan budidaya kelinci dan produk olahannya menjadi salah satu dari 15 kategori komoditas yang akan dikembangkan.

“Target produksi komoditas kelinci dalam desain besar tersebut sebanyak seribu ekor pada tahun 2030 disertai dengan pengembangan olahan peternakan sebesar 100 jenis olahan,” terang Arivin saat membuka Webinar bertema Kelinci sebagai Alternatif Sumber Protein Hewani Unggulan di Perkotaan pada Senin (24/8/2020).

Webinar ini dilaksanakan untuk mendesiminasikan hasil penelitian dan pengkajian teknologi budidaya kelinci spesifik lokasi perkotaan khususnya dataran rendah beserta pemanfaatannya yang telah dikembangkan di BPTP Jakarta sejak 2015.

Hal ini sejalan dengan Perda DKI Jakarta No 4 Tahun 2007 tentang pengendalian pemeliharaan dan peredaran unggas yang melarang pemeliharaan unggas di wilayah pemukiman untuk mencegah penyebaran penyakit flu burung. Karena itu, pengembangan budidaya kelinci pedaging dapat menjadi alternatif sumber pemenuhan kebutuhan protein hewani bagi masyarakat perkotaan di DKI Jakarta.

Menurut Arivin, ternak kelinci pedaging sangat potensial untuk dikembangkan di wilayah perkotaan karena dapat dibudidayakan pada lahan terbatas dan didukung oleh potensi biologis kelinci yang baik. Serta adanya pengembangan diversifikasi olahan daging kelinci dan hasil sampingnya. “Maka pengembangan budidaya kelinci dapat menjadi sumber penghasilan sekaligus untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat,” tuturnya.

Peneliti Peternakan, Syamsu Bahar mengatakan sejalan dengan dinamika perkembangannya, sebaran pemeliharaan kelinci saat ini tidak hanya terbatas di daerah pedesaan tetapi juga menjadi fenomena yang menarik dan disukai masyarakat di perkotaan.

Budidaya ternak kelinci, lanjutnya, memerlukan beberapa komponen teknologi seperti bibit/pembibitan, pakan/nutrisi, perkandangan, reproduksi, kesehatan, panen/pascapanen, pemasaran, analisis usaha, serta teknologi pendukung lainnya.

“Salah satu jenis kelinci pedaging yang bisa dikembangkan sebagai sumber protein hewani yaitu NZW (New Zealand White) dan turunannya.  Jenis ini telah beradaptasi dengan baik pada iklim tropis,” terang Syamsu.

Lebih lanjut Syamsu menerangkan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan bibit kelinci yaitu harus berasal dari tempat dengan sistem pembibitan yang baik, sedapat mungkin ada silsilah keturunannya, dan memiliki nomor identifikasi yang jelas. Pemilihan bibit harus disesuaikan dengan jenis pemeliharaan, ternak sehat dan bebas dari gejala penyakit klinis, berumur lebih dari 4 bulan dan berasal dari induk yang berbeda.

Adapun karakteristik reproduksi kelinci yaitu dewasa kelamin diperoleh pada usia 4,5-5,5 bulan, ovulasi dilakukan dengan induksi/ dirangsang, dan kawin setelah beranak 2–4 minggu. Lama kebuntingan sekitar 30-32 hari dengan jumlah anak perkelahiran 1–8 ekor (Rata-rata 6 ekor).

Sementara syarat induk kelinci harus sehat dan tidak memiliki cacat tubuh, bobot badan seimbang dengan umurnya (tidak kerdil), berasal dari keturunan yang mempunyai anak banyak (6-8 ekor), serta mempunyai sifat keindukan dan tidak kanibal.

Balitbangtan melalui Balai Penelitian Ternak (Balitnak) juga telah menghasilkan bibit unggul dari jenis-jenis kelinci yang tersedia. Salah satunya kelinci Rexsi Agrinak yang dilepas Kementerian Pertanian tahun 2017 dengan keputusan Mentan nomor 303/Kpts/SR.120/5/2017. Kelinci Reksi Agrinak dikembangkan karena selain memiliki kelebihan pada warna bulu yang indah dan halus, Kelinci Rexsi Agrinak memiliki ukuran yang besar sehingga dapat dimanfaatkan dagingnya.

Jenis pakan kelinci ada dua jenis yaitu pakan pelet dan pakan hijauan. Pakan hijauan bisa berasal dari rumput-rumputan (rumput alam atau rumput odot), limbah sayuran (daun kembang kol , putren, dan wortel) serta hijauan lainnya (daun ubi jalar, daun katuk, daun Indigofera, dan lain-lain).

“Limbah sayuran pasar bisa berpotensi menjadi sumber pakan hijaun, namun perlu penyortiran agar bersih dan higienis sebelum diberikan pada ternak kelinci,” tuturnya.

Dalam membuat perkandangan hal yang perlu diperhatikan adalah kontruksinya mempunyai ventilasi dan sirkulasi yang baik, serta cahaya yang cukup. Perlengkapan yang harus tersedia antara lain tempat pakan dan air minum, sarang/kotak beranak, gunting kuku, dan timbangan. Syamsu juga menekankan pentingnya sanitasi kandang yang dilakukan setiap hari.

“Untuk menjadikan kelinci sehat diperlukan penanganan kesehatan antara lain penyuntikan untuk penanganan penyakit gudik (scabies), pemotongan gigi dan pengobatan luka pada kaki,” terangnya.

Analisis usaha budidaya kelinci untuk 50 kelinci yang terdiri dari 40 induk betina dan 10 pejantan sebagai usaha skala menengah memerlukan modal investasi awal sebesar Rp 67 juta. Sementara biaya operasional selama 1 tahun sebesar Rp 137 juta. Pendapatan pertahun yang bisa diperoleh sekitar Rp 277 juta dengan keuntungan Rp 73 juta atau Rp 6 juta per bulan.

Selain budidaya kelinci, dalam Webinar ini dipaparkan juga potensi limbah budidaya kelinci sebagai pupuk organik dan diversifikasi teknologi pengolahan daging dan kulit kelinci. SY/HMSL