Industri Sawit Kurangi Angka Kemiskinan

udin abay | Rabu, 31 Maret 2021 , 17:47:00 WIB

Swadayaonline.com - Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) mengakui  peranan kelapa sawit untuk menekan angka kemiskinan dan meningkatkan  kesejahteraan petani sawit. Selain itu, kelapa sawit menunjukkan kontribusinya bagi pemenuhan pangan di dalam negeri bahkan dunia.

Berdasarkan riset Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), perkebunan kelapa sawit mampu membangun daerah miskin dan terbelakang untuk menjadi sentra perekonomian baru. Sentra ekonomi baru ini tersebar di Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi, Papua dan Papua Barat.

“Kelapa sawit membantu dunia dalam Sustainable Development Goals (SDG) di bidang mengatasi persoalan kemiskinan, baik bagi negara produsen maupun negara konsumen. Semakin meningkat produksi CPO, maka angka kemiskinan suatu daerah semakin menurun” ujar Dr. Tungkot Sipayung, Direktur Eksekutif Palm  Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI).

Hal ini diungkapkannya dalam Diskusi Webinar Forum Wartawan Pertanian (FORWATAN) yang bertemakan "Peranan Kelapa Sawit Dalam Pengentasan Kemiskinan Dan Mewujudkan Gratieks”, Rabu (31 Maret 2021). Pembicara lain yang hadir antara lain Heru Tri Widarto (Direktur Tanaman Tahunan dan Tanaman Penyegar Kementerian Pertanian RI) dan Dr. Bedjo Santoso (Pengamat Kehutanan).

Menolong Kemiskinan

Dikatakan Tungkot, tiga jalur industri minyak sawit menolong kemiskinan dunia. Pertama, jalur produksi melalui sentra perkebunan sawit. Kedua, jalur hilirisasi di negara importir minyak sawit. Ketiga adalah jalur konsumsi minyak sawit.

Setelah era bisnis HPH (Hak Pengusahaan Hutan ) berakhir, muncul kota mati atau kota hantu karena ekonomi tidak bergerak. Imbasnya, masyarakat setempat menjadi miskin. “Disinilah,  peranan  kebun sawit rakyat  yang merestorasi lahan eks HPH menjadi daerah produktif dan lestari secara lingkungan. Selain itu, perekonomian mulai bergerak dengan hadirnya perkebunan sawit,” jelas Tungkot.

Dari aspek ekonomi, terjadi nilai transaksi antara masyarakat kebun sawit dengan ekonomi di pedesaan dan perkotaan. Nilai transaksi masyarakat kebun sawit dengan masyarakat perkotaan sebesar Rp 202,1 triliun/tahun dan masyarakat kebun saiwt dengan ekonomi pedesaaan sebesar Rp 59,8 triliun/tahun.

Pertumbuhan perkebunan sawit di setiap daerah berkontribusi menurunkan kemiskinan. Kondisi serupa dialami oleh Malaysia, Thailand, Papua Nugini. “Jadi, di mana ada perkebunan sawit di situ kemiskinan turun karena ada tenaga kerja yang masuk ke sana. Tumbuh pusat pusat pertumbuhan ekonomi baru,”ucap dia.

Begitupula di luar negeri, ada kesempatan kerja yang tercipta di industri hilir negara importir sawit. Penciptaan lapangan kerja mencapai 2,73 juta orang di negara tujuan sawit. Dari sisi income generating sebesar Rp 38 triliun untuk program hilirisasi minyak sawit di negara importir. 

“Kita (Indonesia) negara eksportir mampu meningkatkan kinerja sawit. Begitupula di negara importir kesempatan kerja meningkat. Itu terjadi di India meningkat, China dan Uni Eropa,” ujarnya.

“Sebenarnya UE (Uni Eropa) pura-pura saja menolak sawit.Sebab jika mereka tetap begitu hilang kesempatan kerja di sana, dan pendapatan turun,”papar Tungkot.

Tulang Punggung Ekonomi

Pengamat Kehutanan, Dr. Bedjo Santoso mengungkapkan industri kelapa sawit mampu menyerap 16,2 juta orang tenaga kerja. Rinciannya, 4,2 juta tenaga kerja langsung dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung. Devisa kelapa sawit tahun 2018 sebesar 240 trilliun rupiah. Kelapa sawit mampu menjadi tulang punggung  perekonomian nasional.

“Saya tidak sepakat dengan kebijakan moratorium sawit (Inpres No.8 Tahun 2018). Aturan ini tidak jelas arahnya dan menggerogoti  sawit sebagai tulang punggung ekonomi nasional,” ujar Bedjo.

Ia mengatakan Pengembangan kelapa sawit (terutama sawit rakyat) dapat ditempuh melalui pembangunan ekosistem hutan tanaman kelapa sawit yang ramah lingkungan berbasis kearifan lokal.

“Kebijakan pemerintah dalam perkelapasawitan yang kontraproduktif dengan upaya pengentasan kemiskinan perlu ditinjau kembali agar  sesuai prioritas kepentingan nasional,” jelasnya.

Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar Ditjen Perkebunan Kementan Heru Tri Widarto menyebut total luas lahan sawit 16,38 juta hektar. Dari jumlah tersebut,  luas perkebunan  sawit rakyat  6,72 juta hektar. Sementara itu, potensi peremajaan sawit rakyat 2,78 juta hektar dengan sebaran dominan di Sumatera dan Kalimantan.

“Target PSR periode 2020-2022 tumbuh 180 ribu hektar setiap tahunnya. Targetnya di 21 provinsi dan 108 kabupaten/kota,”ucap Heru.

Secara keseluruhan Ditjen Perkebunan menargetkan nilai ekspor komoditas utama , andalan dan pengembangan perkebunan periode 2020-2024 sebesar US$74,31 milliar atau setara Rp 1.040,33 trilliun rupiah.

Untuk mengejar seluruh target tersebut Ditjen Bun mendorong pengembangan logistik benih, meningkatkan produksi dan produkivitas, meningkatkan nilai tambah, daya saing dan ekspor.

“Kami juga mendorong modernisasi perkebunan , pembiayaan melalui KUR (kredit usaha rakyat), peningkatan kapasitas SDM (sumber daya manusia), optimasi jejaring stakeholder,”ucap Heru Tri

Ditjen Perkebunan juga menargetkan selama  2020-2024 produksi perkebunan naik 7 persen per tahun, penyerapan tenaga kerja 5 persen, peningkatan PDB perkebunan 5 persen per tahun serta mengurangi losses 3 persen. SY