Kebun Dalam Kawasan Hutan dan Legalitas, Masalah Terbesar Perkebunan Sawit

udin abay | Senin, 26 Juli 2021 , 14:28:00 WIB

Swadayaonline.com - Irfan Bakhtiar dari SPOS Indonesia menyatakan legalitas dan tumpang tindih dengan kawasan merupakan masalah terbesar yang dihadapi petani kelapa sawit. “Di lapangan kami sering menjumpai kebun sudah SHM tetapi berada dalam kawasan hutan. Secara normatif kalau dibawa ke pengadilan pasti menang tetapi tidak mudah juga pekebun merperkarakan ini,” katanya.

Penyelesaiannya memang tidak mudah harus ada political will pemerintah pusat dengan cara memperpanjang Inpres Moratorium yang salah satu isinya menyelesaikan tumpang tindih, juga kebijakan satu peta.

Saat ini salah satu prioritas Kemenko Perekonomian adalah menyelesaikan masalah ini di daerah –daerah tertentu, salah satunya Kalimantan Tengah. Di Provinsi ini sedang coba diselesaikan dan diidentifikasi termasuk sawit rakyat. Masalahnya data sawit rakyat ini paling minim.

SPOS Indonesia sendiri sudah membantu pemetaan petani sawit dengan drone sehingga langsung bisa didapatkan poligon. Petani binaan SPOS di Kotim dan Sulbar sedang mengajukan PSR sehingga dengan adanya peta poligon ini verifikasi semakin gampang.

Penyelasaian tumpang tindih dalam kawasan ini harus oleh pemerintah pusat, sebab wewenang kehutanaan adanya di pusat. Harus disediakan anggaran khusus tidak hanya untuk K/L pusat dan UPTnya tetapi untuk pemkab. Semua K/L harus terlibat, jangan Kementan saja sebab berhadapan dengan KLHK saja bisa lama sekali penyelesaiannya.

Heru Tri Widarto, Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar, Ditjenbun menyatakan tumpang tindih areal perkebunan kelapa sawit rakyat dengan kawasan hutan sampai saat ini masih diupayakan penyelesaiannya. “Kita masih terus berdiskusi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan karena aturanya sudah ada tinggal pelaksanaannya,” katanya. Kenyataan di lapangan kebun milik petani yang sudah bersertifikat hak milik saja masuk dalam kawasan hutan karena penunjukkan sebagai kawasan dilakukan setelah SHM terbit. “Sudah ada tanda-tanda baik dari KLHK kasus seperti ini akan dilepas,” katanya.

KLHK hanya minta dibuatkan peta poligon empat titik untuk kebun di kawasan ini. Secara teori ini mudah tetapi kenyataan di lapangan tidak. Heru minta peta poligon ini hanya berlaku untuk kebun dalam kawasan saja, sedang bila dinyatakan diluar kawasan tidak perlu.

Dari empat titik poligon dengan era teknologi informasi sekarang bisa langsung dioverlay dengan peta kawasan hutan maka dalam waktu 1-1,5 jam hasilnya bisa keluar. Tetapi kalau KLHK menganggap perlu terjun ke lapangan maka BPDPKS siap mendanai. Syaratnya jangan perlu waktu lebih lama lagi apalagi bagi pekebun yang akan melakukan PSR. Semuanya harus bisa diselesaikan dengan cepat.

Heru minta asosiasi-asosiasi petani kelapa sawit melakukan kerja nyata dengan membantu membuat peta poligon. Pendamping dan verifikator juga sudah ada yang dilatih bagaimana membuat peta, overlay dengan peta kawasan hutan yang dipunyai Ditjenbun sehingga keterampilannya meningkat. Sudah dua batch, dilaksanakan di Aceh dan Sumut tetapi berhenti sementara akibat PPKM. Humas Ditjenbun