Swadayaonline.com - Benih padi hibrida memang bisa menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan produktivitas padi. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, penanaman benih padi hibrida harus sesuai dengan karakteristik tertentu. Pasalnya, sifat unggul yang ada dalam padi hibrida tidak dirancang khusus untuk meningkatkan hasil panen. Namun meminimalisir hilangnya potensi hasil panen karena masalah biotik dan abiotik yang dihadapi petani. Dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No 127 tahun 2014 tentang Pemasukan dan Pelepasan Varietas Benih Tanaman, pada Pasal 9 ayat 3 produsen diberikan waktu tiga tahun mengimpor benih hibrida.

Ketua Umum Asbenindo, Ricky Gunawan mengatakan, pemerintah belum serius mengembangkan padi hibrida karena masih mengandalkan padi inbrida. Padahal menurutnya, padi hibrida bisa menjadi alternatif dalam menggenjot produksi beras dalam neger. “Untuk mengembangkan benih padi hibrida saat ini mengalami kendala, menyusul penutupan impor benih oleh Kementan. Padahal sebelumnya produsen diperbolehkan impor selama tiga tahun, tapi saat sudah ada perusahaan yang berhasil mengembangkan varietas unggul padi hibrida, ternyata secara mendadak ijin impor dihentikan.”, ujarnya saat acara Pelatihan Peningkatan Keterampilan Penangkar Benih dan Petugas Benih Padi Hibrida di Balai Besar Penelitian Padi. (7/8/2018)

“Direktur Jenderal (Dirjen) Tanaman Kementan mendadak dan tanpa mengeluarkan aturan tertulis menolak mengeluarkan rekomendasi impor benih padi hibrida. Ini menjadi kendala bagi para produsen yang sedang mengembangkan benih hibrida. Keputusan katanya didasari karena pasokan benih padi nasional sudah mencukupi, tapi perhitungan tersebut tanpa membedakan antara benih padi hibrida dengan inbrida. Ini membuat ketidakpastian dalam berusaha,” tambahnya.

Peraturan lain yang dinilai menghambat pertumbuhan produsen benih padi hibrida adalah persyaratan yang terlalu tinggi untuk produktivitas benih dan gabah konsumsi. Pemerintah menetapkan produktivitas benih F1 minimal 1,5 ton/ha dan untuk gabah mencapai 11 ton/ha gabah kering giling (GKG). Padahal untuk mencapai produktivitas benih F1 sebesar 1,5 ton/ha sangat sulit. Apalagi kondisi iklim Indonesia adalah tropis, sementara umumnya pengembangan padi hibrida di negara subtropis, seperti China dan India.

Sementara itu, Devi Kusumaningtyas dari Croplife Indonesia meminta pemerintah konsisten dengan peraturan yang sudah ada. Sementara para produsen berkomitmen untuk memproduksi benih hibrida dalam negeri. Namun kita masih  membutuhkan waktu untuk meningkatkan kemampuan penangkar benih guna peningkatan kapasitas produksi dalam negeri. Direktur Benih dan Bioteknologi Corplife Indonesia, Desmarwansyah juga mengatakan pemerintah menghambat perkembangan benih padi hibrida nasioanal menyusul dikeluarkannya aturan-aturan yang tidak masuk akal. Salah satunya menutup impor benih hibrida.

Dia mengatakan, pengembangan padi hibrida mengalami stagnasi karena kelangkaan pasokan benihnya. Industri membutuhkan impor benih sebagai barang modal untuk kembali diproduksi secara massal dengan bekerja sama dengan petani penangkar. Dirinya meminta agar pemerintah konsisten dalam implementasi regulasi yang sudah dibuat. Hal ini penting guna kepastian usaha dan investasi dalam negeri. SY