Timbulnya Masalah Status Lahan Kebun Sawit dan Sertifikasi Pascakeputusan MK 138/2015

udin abay | Rabu, 05 September 2018 , 20:51:00 WIB

Swadayaonline.com - Industri sawit merupakan industri strategis dalam perekonomian nasional. Selain penyumbang devisa terbesar dalam perekonomian saat ini dan berperan penting dalam pembangunan ekonomi daerah, meciptakan kesempatan kerja, maupun penurunan kemiskinan. Karena itu, keberlanjutan perkebunan sawit sangat penting dipastikan dengan legalitas yang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Maka legalitas kebun sawit di Indonesia, tampaknya memerlukan penyesuaian setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 138 Tahun 2015 (Putusan MK 138/2015). Sebelum Putusan MK 138/2015, proses perizinan perkebunan sawit mengacu pada UU No. 39/2014 tentang Perkebunan khususnya Pasal 42, yakni pembangunan kebun sawit atau pengolahan CPO dapat dilakukan jika telah memiliki hak atas tanah (HGU) atau Izin Usaha Perkebunan (IUP) atau kedua-duanya.

Pasal 42 tersebut kemudian dinyatakan bertentangan dengan Undang-undang Dasar Republik Indonesia melalui Putusan MK 138/2015. Menurut Putusan MK tersebut, pembangunan perkebunan sawit hanya boleh dilakukan jika telah memiliki hak atas tanah (HGU) dan Izin Usaha Perkebunan (kedua-duanya dan tidak boleh hanya salah satu).
Masalahnya, mengikuti Pasal 42 UU 39/2014, sampai saat ini banyak perkebunan sawit yang telah telanjur dibangun bahkan sebagian sudah dipanen dengan hanya (baru) mengantongi Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan belum (masih proses pengurusan) memiliki hak atas tanah (HGU). Dengan Putusan MK 138/2015 tersebut perkebunan sawit atau PKS yang belum memiliki HGU (meskipun telah ber-IUP) dinilai illegal atau belum memiliki legalitas. Hal ini juga berdampak pada legalitas proses sertifikasi berkelanjutan minyak sawit (ISPO, RSPO) maupun legalitas kebun sawit yang telah memperoleh sertifikat ISPO atau RSPO.  

Sementara itu, Putusan MK 138/2015 tersebut belumlah operasional karena harus diimplementasikan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan selanjutnya dalam Peraturan Menteri. Dengan kata lain Pasal 42 UU 39/2014 (acuan legalitas Lama) telah dinyatakan batal demi hukum, sementara Putusan MK 138/2015 (acuan Legalitas Baru) belum operasional. Hal ini menciptakan kekosongan hukum atau ketidakpastian hukum bagi perkebunan sawit nasional.

Dewan Pembina PASPI dan Ketua Dewan Redaksi Majalah AGRINA, Bungaran Saragih mengatakan kita cepat keluar dari krisis 1998 karena sawit berkembang sangat pesat. Dalam kurang lima tahun 2 juta menjadi 4 juta ha. Itulah injeksi yang besar untuk devisa di Republik Indonesia. Pada 2008 ada krisis lagi. Tahun 2013 devisa sawit tetap banyak. Sawit memang strategis dari segi kepentingan pembangunan ekonomi Indonesia. Tak hanya dari devisa, tapi juga berkembangnya kota-kota di daerah-daerah.

"Paling revolusioner dan revolusi sawit bukan hanya produksi, ekspor, bahkan holistik. Ini adalah contoh paling baik agrarian reform. Banyak yang menuntut agrarian reform, ini conrohnya. Bukan hanya bagi-bagi tanah tapi bagi-bagi kesempatan ekonomi. Ini salah satu alasan orang-orang luar negeri makin meng-appreciate sawit. Sudah lebih 40% di tangan petani. Artinya Indonesia mampu membauat sistem yang pasra nggak dipertentangkan antara yang besar dan kecil", ujar Bungaran pada acara diskusi "Status Lahan Kebun Sawit dan Sertifikasi Pascakeputusan MK 138/2015" di Aryaduta Hotel. (5/9/2018).

Menurutnya, sawit sangat strategis tapi masalah banyak juga. Belakangan kita ada keputusan MK 138/2015. Intinya, legalitas sawit haruslah HGU. Kalau UU Perkebunan bisa HGU atau IUP sementara. Sebenarnya UU ini melanjutkan UU Orde Baru untuk mempercepat proses sawit menyelesaikan banyak hal. Dulu bahkan bukan IUP, malah bukan HGU juga, disuruh tanam dulu. Pekerjaan rumah kita sangat besar sekali. Sebab 12 juta ha, berapa persen yang HGU berapa yang belum. Menurut legalitas kita, itu tidak legal. Jadi, bagaimana caranya supaya tidak menjadi masalah legalitas. Butuh waktu untuk follow up keputusan MK, kepres, atau Kepmen, tapi harus ada yang menjembatani. Dan itu butuh waktu. Sebelum itu terjadi seolah-olah ilegal. Ada legal terdahulu sebenarnya.

"Bagaimana secepat mungkin pemerintah, apakah Menko Maritim atau Perekonomian, atau Setneg. Paling kesulitan adalah Ditjenbun. BPN mengeluarkan HGU. Kehutanan yang pelepasan hutan. Kemenkumham harus ikut di sini. Marilah kita cari jalan secepat mungkin agar status legalitas ini tidak dipersoalkan", tegas Bungaran.

Sementara itu Direktur RSPO Indonesia, Tiur Rumondang mengatakan, pada tanggal 12 Oktober 2017 RSPO mengeluarkan pernyataan kepada para pemangku kepentingan di Indonesia terkait Hak Guna Usaha. Pernyataan tersebut mengatur persyaratan legalitas lahan di mana hak atas lahan bagi anggota RSPO yang akan menjalani sertifikasi harus dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) dan Izin Usaha Perkebunan (IUP) yang sah.

Setelah dikeluarkannya pernyataan tersebut, Sekretariat RSPO menerima komentar dari para pemangku kepentingan yang memicu diskusi lebih lanjut di Dewan Gubernur (Board of Governor/BoG) RSPO. Di dalam pertemuan yang dilangsungkan 27 Juni 2018, Dewan Gubernur RSPO kemudian memutuskan untuk merevisi persyaratan RSPO terutama terkait ketentuan bagi unit kelola yang sudah mendapatkan sertifikat RSPO yakni bagi perusahaan perkebunan anggota RSPO yang belum bersertifikat dan ingin mengajukan sertifikasi RSPO perusahaan tersebut harus menunjukkan bukti kepemilikan Hak Guna Usaha (HGU) dan Izin Usaha Perkebunan (IUP) untuk unit yang akan disertifikasi. Sementara bagi perusahaan perkebunan yang saat ini sudah bersertifikat RSPO tetapi belum memperoleh Hak Guna Usaha (HGU) maka sertifikat tetap berlaku dan dapat melanjutkan ke proses resertifikasi.

Mukti Sardjono, Direktur Eksekutif GAPKI, Mukti Sardjono mengungkapkan, keputusan MK No. 138/2015 adalah ketentuan yang ideal untuk kepastian berusaha di bidang kelapa sawit. Namun perlu ada pengaturan transisi terhadap kebun sawit yang sudah dibangun dan sudah punya IUP namun HGU masih dalam proses.

"Adanya kepastian kapan waktu penyelesaian HGU, baik lahan eks APL maupun eks HPK. Perlu dipertimbangkan pemerintah menyediakan lahan yang sudah clean and clear sehingga proses perolehan lahan tidak lagi dilakukan oleh pengusaha/investor", ujarnya. Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, Ditjen Perkebunan, Kementan, Dedi Junaedi mengatakan, salah satu putusan MK terkait Pasal 42 UU 39/2014 tentang Perkebunan adalah pelaku usaha perkebunan (sawit) harus menyelesaikan dulu hak atas tanah (HGU) dan izin usaha perkebunan (IUP) sebelum memulai usaha perkebunan.

"Bagi kami Ditjen Perkebunan, justru dengan adanya putusan MK tersebut mendorong perusahaan segera memproses perizinan, IUP dan HGU. Sehingga bisa mendorong juga percepatan sertifikasi ISPO. HGU adalah salah satu prasyarat untuk mendapatkan sertifikasi ISPO. Selama ini yang menjadi hambatan utama adalah aspek legalitas lahan karena banyak perusahaan setelah mendapatkan IUP, tidak segera mengurus HGU", tegasnya.

Akibat putusan MK tersebut, pemerintah harus mempermudah perizinan kebun yang telanjur tanam yang 705 ribu ha dan kebun masyarakat 1,5 juta ha. Selain itu harus memperhatikan kepentingan daerah dalam mengembangkan wilayah dan ekonomi serta adanya kepastian hukum yang konsisten bagi masyarakat dan pelaku usaha. Kementan atau Ditjenbun perlu membuat pedum, juklak, juknis dalam rangka kewajiban perusahaan perkebunan. SY