Dirjen Perkebunan : Petani Kopi Organik Harus Merambah Sektor Hilir

udin abay | Rabu, 09 Oktober 2019 , 11:12:00 WIB

Swadayaonline.com - Direktur Jenderal Perkebunan (Dirjenbun), Kementerian Pertanian (Kementan), Kasdi Subagyono, meminta petani kopi organik merambah sektor hilir. Selain memberi nilai tambah, keuntungan dari industri pengolahan bisa membantu petani bertahan menghadapi fluktuasi harga biji kopi.

Hal itu disampaikan Kasdi saat mengunjungi kebun kopi Kelompok Tani Tani Manunggaling Karso di Kecamatan Tutur, Pasuruan, Jawa Timur, Selasa (8/10). Kelompok Tani ini mengelola 34 hektar lahan tanaman kopi. Seluas 18,5 hektare di antaranya dikelola secara organik.

"Itu salah satu terobosan. Karena dia mampu mewujudkan produk organik yang dihargai mahal tentunya," kata Kasdi.

Selisih harga kopi organik dengan nonorganik, terang Kasdi, relatif besar. Jika kopi organik bisa dihargai kisaran harga Rp 60 ribu sampai Rp 70 ribu per kg, kopi non organik hanya laku dijual sekitar Rp 25 ribu saja.

Dirjen Perkebunan Kasdi Subagyono (berkemeja kotak-kotak) bersama petani kopi, jajaran Balai Besar Perbenihan dan Ptoteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Surabaya, dan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Jawa Timur di kebun kopi kelompok tani Manunggaling Karso, Kecamatan Tutur, Pasuruan, Selasa (8/10/)

Direktur Jenderal Perkebunan (Dirjenbun), Kementerian Pertanian (Kementan), Kasdi Subagyono, meminta petani kopi organik merambah sektor hilir. Selain memberi nilai tambah, keuntungan dari industri pengolahan bisa membantu petani bertahan menghadapi fluktuasi harga biji kopi.

Hal itu disampaikan Kasdi saat mengunjungi kebun kopi Kelompok Tani Tani Manunggaling Karso di Kecamatan Tutur, Pasuruan, Jawa Timur, Selasa (8/10). Kelompok Tani ini mengelola 34 hektar lahan tanaman kopi. Seluas 18,5 hektare di antaranya dikelola secara organik.

"Itu salah satu terobosan. Karena dia mampu mewujudkan produk organik yang dihargai mahal tentunya," kata Kasdi.

Selisih harga kopi organik dengan nonorganik, terang Kasdi, relatif besar. Jika kopi organik bisa dihargai kisaran harga Rp 60 ribu sampai Rp 70 ribu per kg, kopi non organik hanya laku dijual sekitar Rp 25 ribu saja.


Untuk memastikan keberlanjutan pengelolaan secara organik, petani kopi dari kelompok tersebut mendapat pendampingan langsung dari Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Surabaya, Jawa Timur. Menariknya, lahan perkebunan kopi organik ini sudah diintegrasikan dengan peternakan sapi perah. Sehingga petani mendapat sumber penghasilan baru, dari hasil penjualan susu. 

Kemudian kotoran dari sapi ditampung, lalu dikonversi menjadi gas metan, yang bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan memasak. Sisa kotoran dari proses konversi ke gas, digunakan sebagai pupuk. "Itu integrasi yang sangat bagus," tuturnya.

Namun, Kasdi meminta petani tidak puas sampai di situ saja. Ia meminta daftar penghasilan petani ditambah lagi dengan merambah sektor hilir. Yakni industri pengolahan.

"Dari susu sapinya saja bisa, turunan produknya itu banyak. Bisa yogurt, bisa es krim, bisa macam-macam," papar Kasdi.

Untuk kopinya, Kasdi meminta petani tidak hanya menjual biji kopi, baik green bean basah maupun kering. Sebab, harganya sangat fluktuatif, khususnya kopi robusta. Ia meminta petani menjual biji kopi yang sudah diolah atau sudah dikemas.
"Nanti kita (Dirjenbun) akan bantu alat olah kopinya. Kemudian alat olah susunya kita akan koordinasikan dengan Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH). Kalau itu difasilitasi, saya yakin pendapatan petani akan meningkat. Mungkin 3 kali lipat prediksi saya," pungkas Kasdi. SY/GGT