Indonesia Berpeluang Tanam Padi di Musim Kemarau

udin abay | Kamis, 18 Juni 2020 , 18:13:00 WIB

Swadayaonline.com - Indonesia berpeluang terhindar dari prediksi Food and Agriculture Organization (FAO) yang menyebut dunia global sedang menghadapi ancaman kekeringan global. Musababnya, informasi FAO merujuk pada data prediksi iklim global, sementara pada konteks lokal Indonesia kondisinya dapat berbeda. "Realitasnya hingga hari ini yang semestinya Indonesia telah mengalami kekekeringan, hujan masih sering turun," kata Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Pertanian (Balitklimat), Dr. Harmanto, pada Webinar Prediksi Iklim Pertanian Mengantisipasi Potensi Kekeringan, Kamis (18/6) pagi.

Menurut Harmanto, hasil analisis para peneliti Balitklimat yang bersumber dari data iklim empat lembaga iklim internasional dan nasional justeru menunjukkan wilayah Indonesia berada dalam kondisi musim kemarau basah pada Juni, Juli, Agustus, hingga September nanti. "Wilayah di atas khatulistiwa sifat hujan di atas normal, sementara di bawah khatulistiwa sifat hujan normal," kata Harmanto.

Kepala Balitbangtan, Kementan, Dr. Fadjry Djufry, mengatakan hujan yang turun di musim kemarau itu berkah bagi petani Indonesia di tengah pandemi korona. "Badan pangan dunia saja mengkhawatirkan krisis pangan, Indonesia memiliki modal dari alam yang harus dimanfaatkan. Tentu jangan lupa menabung air di saat hujan turun agar berkah itu dapat digunakan secara efektif dan efisien," tutur Fadjry.

Peneliti Balitklimat, Dr. Elza Surmaini, menguatkan modal alami Indonesia itu. Ia telah mendownscaling data iklim dari penyedia data iklim dunia dan BMKG kemudia menganalisis dengan super komputer bersama Institut Teknologi Bandung (ITB). Downscaling merupakan metode untuk memperoleh informasi iklim wilayah lokal hingga tingkat provinsi dan kabupaten dari sumber data iklim global yang kasar. "Prediksi kami hampir sebagian besar wilayah Indonesia masih mendapatkan hujan yang cukup untuk aktivitas pertanian," kata Elza.

Curah hujan di atas normal akan terjadi pada sebagian besar Kalimantan serta bagian utara dan tengah Sumatera, Sulawesi dan Papua. Sementara curah hujan normal akan terjadi di bagian selatan Sumatera dan Papua serta Jawa dan Bali.

Dengan kondisi itu, menurut Elza, Indonesia berpeluang menambah luas tanam di sawah irigasi dan tadah hujan di musim kemarau basah. Demikian pula pertanian hortikultura di lahan kering dapat terus menambah luas tanam. "Ini peluang yang harus dipahami para stakeholder pertanian dan petani sehingga jangan dilewatkan. Tentu petani tetap harus menerapkan sistem budidaya yang sehat," kata Elsa. 

Kini prediksi kekeringan tersebut, menurut Elza, dapat diakses gratis di situs resmi Balitklimat sehingga semua pihak dapat memanfaatkannya untuk kepentingan pertanian. "Informasi pada situs tersebut lebih spesifik untuk pertanian sehingga berbeda dengan informasi iklim umum. Balitklimat mentransformasi data iklim menjadi informasi iklim untuk pertanian," kata Elza.

Informasi itu penting karena dinamika iklim sangat bervariasi antar musim dan antar tahun. "Awal dan panjang musim kemarau serta sifatnya bervariasi," kata Elza.

Sementara perencanaan pertanian perlu menyesuaikan dengan kondisi iklim pada musim tanam yang akan datang untuk menekan risiko atau memanfaatan kondisi iklim optimal. "Penyesuaian praktik budidaya dengan kondisi iklim merupakan upaya dengan biaya paling murah," kata Elza.

Tentu informasi iklim tersebut harus bisa diakses 1-2 bulan sebelum musim tanam agar cukup waktu untuk mempersiapkan sarana dan prasarana pertanian. 

Webinar itu diikuti 894 peserta dari 2.200 pendaftar dari berbagai kalangan seperti ASN, dosen, swasta, dan mahasiswa. Sementara narasumber lainnya adalah Dr. Yayan Apriyana dan Dr. Aris Pramudia yang masing-masing menyampaikan tema Kalender Tanam Terpadu dan Pentingnya Petani Belajar Iklim. 

Keduanya memberi informasi bahwa petani Indonesia sejak dulu telah mampu membaca iklim sehingga dapat bertani dengan baik untuk memberi makan penduduk Indonesia dengan populasi keempat terbesar dunia. "Dulu kita punya pranata mangsa yang berbeda-beda dan spesifik di setiap daerah," kata Aris. SY/HMSL